Lelaki sayu itu terpekur di sudut keramaian pasar. Umurnya tak lagi muda. Pakaiannya tak lagi putih jernih. Hanya kelabu oleh debu2 yang perlahan mampir di setiap lekuk baju yang dikenakannya, di celana yang tlah koyak kainnya. Wajahnya terperangah seakan mau marah. Di setiap episode hidupnya tak di warnai dengan hangat kasih sayang keluarga. Ia terus mendekam di sudut keramaian kota meminta belas kasih siapapun yang melewatinya. Di sudut pasar yang tak seorangpun ingin menatap wajahnya. Rambutnya bak sapu ijuk, kulitnya hitam keriput. Mentari pagi tak mampu tuk sinarkan wajahnya. Gelap. Kelopak matanya tak mampu tuk menatap. Hanya gulita yang temaninya. Jernih suaranya memekik di tengah kebisingan pasar.Suara kebencian.
“Hei kalian! Jangan kalian dengar Muhammad itu! Dia sesat!” pongahnya terus berteriak. Ruang matanya kosong. Dendam saja adanya.
“Muhammad pembohong besar!” terlontar jelas dari mulutnya yang kering dzikir.
Tenggelam dalam kebencian, lelaki buta itu terus bangga meneriakkan sgala prasangka dalam pikirnya. Otaknya sarat benci pada Muhammad SAW. Mendekap di tiap congkak langkahnya. Di keriuhan pasar dengan lalu lalang orang, ia tergolek lunglai di pojokan. Perut cekungnya terus berkoar. 3 hari tak ada sesuap makananpun masuk dalam perutnya.
“lapar…..” teriaknya.
Hanya jejak kaki orang yang ia dengar. Satu, dua, orang lewat di hadapannya. Pun ketika itu dia menjerit kelaparan, tapi nihil. Tak ada peduli untuknya.
***
Terik mentari menyengat kulit. Lelaki buta itu pucat pasi. Tetap mendekam di sudut pasar. Ia mungkin sudah tak tahan. Terkapar dan tertunduk lesu memeluk tas lusuh miliknya. Siang itu sungguh menyiksanya. Peluhnya keluar dari dahi, mengucur terus membasahi rambut kumalnya. Dia hanya bisa mengisap jari. Dia tak percaya akan Sang Pencipta, dia tak percaya dunia ini ada Empunya. Ajal mulai mendekatinya, ia rasa. kaki tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tanpa sadar dalam hatinya meminta “Adakah yang mau menolongku?” lirih. Semut pun tak mampu dengarnya. Daunpun tak bisa sampaikan pesannya. Hanya Sang Pemilik nyawa.
Lelaki tampan, berwibawa dan penuh karisma perlahan mendekatinya. Tangannya perlahan meraih pundak lelaki buta itu. Lembut,ia angkat wajah lelaki yang tlah lunglai hampir mati itu. Ia suapkan makanan hangat yang dipegangnya. Perlahan dan penuh kelembutan. Tanpa berkata lelaki buta melahapnya. “Alhamdulillah” ucap lelaki tampan lega. Habislah makanan yang ia bawa. Lelaki buta lantas bertanya:
“Wahai pemuda…terima kasih. Engkau tlah menyuapiku dengan lembut makanan itu. Mungkin jika kau tak datang, aku akan mati kelaparan.Ku melihat kebaikanmu dari kelembutan tanganmu. Andaikan mataku terbuka nanti, engkau orang pertama yang ingin kulihat.”
“Ya.” Jawab lelaki kharismatik itu pendek.
Hari itu awal perkenalan mereka. Meski tak menyebutkan nama satu sama lain mereka terlihat saling akrab. Saling membuka hati dengan perbedaan usia yang cukup jauh agaknya.
Sejak siang itu, kehidupan lelaki buta seakan berubah 180 derajat. Perutnya tak lagi cekung, rambutnya sedikit tertata, pun badannya terlihat lebih berisi. Setiap hari lelaki tampan yang sebenarnya tak di kenal oleh lelaki buta itu membawa makanan bergizi untuknya. Bervariasi setiap hari. Tak pernah seharipun terlewat oleh lelaki yang berakhlak mulia itu tuk berkunjung ke tepian pasar yang kumuh meski hanya sebentar.
***
Siang itu mentari bersembunyi di balik awan putih. Teduh, hari ini dengan segala keteduhan hati lelaki tampan berakhlak malaikat yang berjalan menuju tempat lelaki buta berada. Tak ada yang berbeda, seperti biasa tangan lembutnya mengulurkan segala kebaikan pada lelaki buta. Lelaki buta pun berucap
“Hai anak muda, kau sangat baik budi. Beda dengan Muhammad. Ia sangat jahat!” ucapnya lantang
Lelaki tampan itu masih mendengarkan. Hanya terhenti beberapa detik tangannya mengulurkan makanan ke dalam mulut lelaki buta itu. Namun ia lanjutkan.
“Tahukah kau hai pemuda! Muhammad itu pembohong besar! Dia sesat! Kau jangan pernah dengarkan kata-katanya ya!” lelaki buta melanjutkan.
“Dia pengaruhi banyak orang tuk mengikuti ajarannya yang sesat, dia bodohi orang-orang dengan menyuruh menyembah pada Tuhannya. Betapa liciknya dia.. oh iya ….dia juga ahli sihir, jadi kau harus hati-hati kepadanya.”
Menggebu-gebu lelaki buta menyeru kepada lelaki tampan yang baru dikenalnya satu minggu itu.
Lelaki baik hati dalam pandangan lelaki buta itu hanya diam saja, mendengar lelaki buta mengumpat dan berteriak mirip seperti kampanye calon presiden saja.
Tak berapa lama dia undur diri dari pandangan lelaki buta. Banyak urusan yang harus diselesaikannya. Lelaki buta itupun mengerti. Namun sebelum ia berlalu lelaki buta berpesan lagi
“Ingat ya….! Jangan kau dengarkan kata-kata Muhammad!”
Tanpa menyahut lelaki yang baik hati itupun lenyap, menghilang bersama debu yang tertiup angin semilir senja itu.
***
Hari terukir indah dengan lantunan syair yang mengalun di tengah kebisingan pasar. Mengalun lembut bagaikan symfoni nada yang menari indah di angkasa. Setiap insan yang mendengarnya pasti kan tenggelam dalam melodi apik terlantun dari hati-hati yang rindu akan rasa. Teriring dalam irama yang tertata dalam urutan balok2 nada sederhana. Begitupun hati lelaki buta itu seakan mendengar melodi indah kembali setelah lama tak pernah ada lagi lagu kebaikan yang ditujukan untuknya. Seperti semilir angin lembut ia rasakan lagi ketika lelaki tampan nan baik budi itu datang. Hari – harinya dipenuhi dengan kasih sayang yang lelaki tampan curahkan kepadanya. Namun hari-hari terakhir, lelaki tampan itu tak Nampak lagi dalam pandangannya. Lelaki itu seakan lenyap menghambur entah kemana. Dalam hati lelaki buta itu gundah, rindu akan sosok yang selama ini menyayanginya dengan setulus hati, sepenuh jiwa. Di sudut hatinya bertanya mengapa ia tak datang lagi? Apakah dia lupa dengan denganku yang hina dan buta ini? Hati lelaki itu terus gundah gulana, menanti sebuah tanya yang tak tahu jawabannya.
Angin semilir membawa debu ke setiap penjuru,,,membawa tanya lelaki buta pada Sang Empunya, meski ia belum lagi percaya adaNya.
Hatinya terus saja mengucap tanya, sampai akhirnya tertelan dalam tenggoroknya, tak ada yang bisa tuk jawabnya,
Hari berlalu, sudah tiga hari lelaki tampan yang kini tlah jadi sosok rupawan di mata lelaki buta tak terdengar lembut suaranya.
Pun hari berikutnya, menanti dan terus menanti lelaki buta itu akan sosok idamannya, bak rindu akan kekasih yang lama pergi tinggalkannya. Dan hari itu penantiannya tak lagi sia-sia, langkah kaki terdengar pelan mendekatinya, menderap dalam debu yang kini tlah melekat di lekuk pakaiannya.
“Kenapa kau lama tak mengunjungiku?” ucap lelaki buta penasaran.
Tak ada jawaban dari lelaki yang baru datang itu. Tanpa berkata ia langsung mendekat pada lelaki buta yang duduk lesu setelah tiga hari tak sesuap nasipun masuk ke mulutnya. Perlahan dengan lembut lelaki itu ingin menyuapkan makanan ke mulut sang lelaki buta. Lelaki buta rasakan ada uluran tangan yang akan memberikan makanan padanya, namun hanya tinggal masuk makanan itu, tiba-tiba tangan lelaki buta itu melayangkan tampikan keras ke lelaki yang datang tadi.
“Kau bukan pemuda yang biasanya!” hardik lelaki buta
“Kau kasar! Tak lembut seperti pemuda itu” ucap lelaki buta dengan marah.
“Kemana pemuda yang biasanya memberiku makan?” tanya sang lelaki buta.
“beliau menyuruhku untuk menggantikannya memberi makan padamu.” Jawab lelaki gagah yang belum di kenal oleh lelaki buta itu.
“Dia sendiri kemana?apa dia telah bosan mengunjungiku?”ucap lelaki buta mulai berprasangka.
“tidak bapak, sebenarnya beliau...beliau telah meninggal 3 hari yang lalu, dan sebelum meninggal beliau berpesan agar saya meneruskan kebiasaan beliau menyuapkan makanan pada bapak.” Ucap lelaki itu.
Wajah lelaki buta berubah lesu, seakan dunia ini goyah, mengguncangkan segenap raganya yang mulai lunglai diterpa badai sendu yang perlahan menusuk kalbu. Ia belum sempat mengucap terima kasih kepada pemuda yang tlah membuat hidupnya tak lagi sengsara. Gaung penyesalan mendentum keras dalam palung jiwanya, seakan pecah oleh khabar yang sirna tertelan masa. Lelaki buta tergagap. Sejenak mereka terjebak dalam diam. Sebentar, hanya sebentar.
“Siapa sebenarnya kau?” lelaki buta bertanya ingin tahu.
“Saya Abu Bakar sahabat Muhammad SAW yang selama ini menyuapimu makanan.” Jawab Abu Bakar dengan jujur.
Lelaki buta terkejut mendengar nama Muhammad SAW disebut oleh Abu Bakar.
“Apa maksudmu....pemuda yang biasanya menyuapiku itu,,,,,”
Suaranya terhenti dan tiba-tiba isaknya menyeruak, tangisnya pecah. Memorynya mengantarkannya pada masa ketika sang pemuda datang kepadanya, menawarkan segala kelembutan padanya, menyuguhkan kehangatan di saat kedinginan hati menyapanya, memapahnya ketika ia kan jatuh. Suaranya yang lembut, akhlaknya yang mulia berlari-lari dalam ingatnya. Kata-kata kasar yang terucap dari bibirnya seakan ingin ia telan kembali saat mengetahui bahwa saat itu ia menghina orang yang ada di hadapannya. Gendang kesedihan bertabuh keras dalam hatinya, “andai waktu bisa ku pegang, ku kan kembalikan saat itu...aku malu,,,,aku malu padamu Muhammad ....” air matanya tak kuat bersembunyi di balik kelopak matanya. Memaksa gelap matanya keluarkan segala air dukanya.
“Maukah kau bershahadat dan mengikuti jejaknya?” Abu Bakar bertanya lembut pada lelaki buta.
“Tuntun aku wahai sahabat Muhammad SAW.”
Seketika Abu Bakar menuntun lelaki buta itu mengucap shahadatain. “Ashadu alla ilaa haillallah,,waashaduanna muhammadarrasulullah....”
Pohon pohon berdzikir mendengar lelaki buta itu mengucap kalimat shahadat agung. Angin semilir membawa kekhusukan lelaki buta , memberi khabar bagi siapapun yang tertiup olehnya. Kelembutan akhlak nabi SAW menjadi hidayah bagi nya yang selama ini menyimpan gumpal kebencian yang sangat kepadanya. Meluluhlantahkan dendam di hati lelaki buta. Subhanallah....lelaki buta berkata : aku cinta engkau muhammad SAW,