Sabtu, 04 Agustus 2012

Allah,,,maaf jika aku mengeluh



Terang kembali langit sore itu. Awan gelap tak lagi menyelimuti  langit, namun semua itu tak ada pengaruhnya bagiku. Hati dan pikiranku masih juga kelabu. Gelap dengan segala beban yang masih menyangkut dalam benak, masih berdiam di sudut rongga otakku terdalam. Pekerjaanku masih banyak!
Aku semakin bimbang. Aku di tuntut untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan kejelian, analisa dan logika ini. Programmer. Itulah pekerjaanku saat ini.Pekerjaan yang mungkin tak banyak diminati oleh kaum perempuan. Pekerjaan yang mengharuskan mataku betah berlama-lama menatap layar komputer. Pekerjaan yang terkadang kupikir, ini tak cocok untukku! Tapi, aku tak bisa menyangkal bahwa inilah bidangku, bidang yang aku pelajari selama 3 tahun ke belakang, bidang yang ku geluti selama aku duduk di bangku kuliah dulu, bidang yang mungkin jika kukatakan aku salah jurusan! Tapi itulah jalanku, jalan yang Allah sediakan untukku. Takdir yang memang harus terjadi padaku. Takdir yang harus aku terima dan aku perjuangkan sekuat tenaga.
Query,coding,class,looping itulah makananku setiap hari. Meski belum mampu untuk expert di bidang ini, namun aku coba untuk tetap bertahan. Bertahan dengan sepenuh kemampuanku yang hanya baru sampai pada level junior programer. Yah, itu memang sebutan untukku. Sebutan yang sebenarnya tak membuatku merasa bangga sedikitpun sebagai ‘kuli’ program komputer  ini. Seringkali aku heran dengan diriku sendiri. Hampir 2 tahun aku menggeluti dunia pemrograman ini, namun tak sekalipun aku bisa mencintai pekerjaanku ini. Bahkan semakin aku jalani aku semakin muak! Entahlah. Aku tak mampu mengerti mengapa banyak orang yang mengatakan bahwa coding itu mengasyikkan, coding is my hoby,coding itu seni  dan sebagian lain berkata, coding itu tantangan! Ah!!! Kalian, mengapa tak sepaham denganku? Memang, kuakui bahwa menjadi seorang programer itu melatih jiwa untuk pantang putus asa, program error pun  terus saja tak putus asa membenarkannya. Selain itu, menjadi programer itu melatih kesabaran, kesabaran untuk mampu bertahan mencari solusi jika terjadi bugs aplikasi. Melatih ketelitian , kejelian mata terhadap code yang kita buat, juga melatih kreatifitas untuk bisa mengakomodir semua keinginan user.
Letih! Pulang hampir jam 22.00 malam tiap hari, belum lagi keinginan user yang semakin banyak saja. Ditambah analisa program yang terkadang aku sendiri masih menerawang. Ah!  Rasanya ingin sekali aku meninggalkan dunia pemrograman ini, tapi kupikir lagi, waktu belumlah tepat. Waktu yang masih rentan jika aku memutuskan untuk resign sekarang. Waktu dimana aku dan 4 orang timku dituntut untuk menyelesaikan program ini sampai akhir minggu ini.
***
Fikiranku masih melayang entah kemana, tak fokus terus untuk bekerja. Entahlah, aku tak mampu berpikir jernih kali ini. Aku mampet! Form entri yang belum juga oke validasinya, sampai-sampai aku di sindir terus oleh pihak user, mengapa validasinya nggak jalan?
Sore ini 2 orang datang dan terus mengerubungiku dengan wajah yang mulai tak bersahabat. Menyindir dengan lagu ‘Bu guru..yang ini kapan selesenya?’.... ingin rasanya aku berkata pada mereka ‘woiiii....aku pusing mendengar ocehan kalian!’ di waktu yang sama Project managerku terus memantauku dari belakang,  terus meminta proggress pekerjaan yang aku kerjakan. Ah! Benar-benar. Aku tak mampu berpikir sekarang. Meski begitu aku terus saja berusaha untuk menyelesaikan dengan segenap kemampuan. Mencoba bertahan dalam keadaan yang cukup tak mengenakan ini. Dan ketakutanku adalah client melakukan pinalti terhadap perusahaanku. Bagaimana aku harus mempertahankannya? Sampai-sampai aku dan tim lainnya tak sempat makan siang. Sudah benar-benar tak enak makan.
Ku ketuk-ketuk tak jelas keyboardku, mencari ide ,cara untuk memperbaiki error program. Mataku tertuju pada sudut kanan bawah komputer, ‘Astaghfirullah...........jam 17.15! aku belum sholat ashar!’ aku berlari mengambil wudhu dan bergegas ke masjid.
Ya Allah...maafkan aku...aku sampai lalai untuk sholat . Entahlah, tak seperti biasanya aku lupa seperti ini. Dan ini sudah kedua kalinya. Oh! Benar-benar aku lalai.
***
Ketika 2 orang client berangsur pergi meninggalkanku , perlahan project managerku mendekatiku dan berdiri di depan meja dengan segelas air di tangannya.
“Pusing ya ta?”
Aku tak berkomentar apa-apa. Hanya wajahku yang menunjukkan betapa stressnya aku.
“Sebenarnya saya ingin sore ini kita berhenti sejenak, coding itu harus dalam keadaan tenang, tekanan jiwa, pikiran dan stressing perasaan mempengaruhi fikiran dan hati seorang programmer. Maka itu, sore ini kita berhenti sejenak untuk mereview dan kembali menata jiwa dan pikiran kita. Pikiran dan hati juga butuh jeda untuk kembali fresh berpikir.”
Beliau menatapku lekat ,lelaki yang mungkin hampir sebaya dengan mamaku itu berkata dengan lancarnya. Aku tahu beliau bimbang. Bimbang dengan aku yang uring-uringan beberapa hari ini. Dengan project yang seharusnya sudah go life  sejak  1 minggu kemarin. Dan dengan semua tim yang bukan hanya aku saja. Fuh! Aku semakin terpuruk jika mengingat semuanya. Dan pangkal dari program ini adalah aku. Mas Rian, seorang analis yang  menjadi akar dari semua analisa program semakin sibuk dengan permintaan user yang banyak. Andin memegang semua report dan beberapa modul aplikasi. Dan akulah yang memegang proses dari aplikasi ini. Banyak error di sana sini, banyak form yang belum juga bisa dientri secara benar, banyak kondisi dan validasi yang belum ku buat di aplikasi, banyak kesalahan!. Oh! Aku semakin kacau. Kata-kata pak Danu, Project Manager ku tadi memang sedikit menenangkanku, namun kekhawatiranku memuncak lagi. Mengingat bahwa semua aplikasi yang tak jalan adalah buatanku.
“Bapak, maaf ya pak jika Tita kurang bisa menghandle semuanya dengan cepat.” Aku membuat
pengakuan dan tertunduk malu di hadapannya.
Kami sama-sama tertunduk lesu,
“Tidak, ta. Semuanya kembali pada pemimpin, dalam hal ini saya. Ini kesalahan saya yang belum mampu mengkoordinir kalian dari awal.”
Aku terdiam. Kami sama-sama diam sampai akhirnya adzan maghrib berkumandang. Kami beranjak tanpa saling berkata lagi.
***
“Hoooi....ko lesu amat sih??” Mba Anisa mengagetkanku dari belakang. Aku yang sedang termenung di depan kaca kamar mandipun sedikit terkejut karena kedatangannya.
Kami bersender pada bibir wastafle kamar mandi. Sejenak aku ingin bercerita padanya. Dia seorang Technical Writer yang ditugaskan satu tim denganku.
Aku tertunduk, “Mba...ini semua salahku, aplikasi  belum bisa go life, aku lemot! Aku lama responnya, aku tak bisa logikanya....! ini semua karena salahku! Kebodohanku!” aku mencaci diri.
Perlahan mba Anisa mengangkat wajahku. “Ayolah ta, ini semua bukan salahmu! Jangan hanya karena ini kamu anggap dirimu lemot! Aku yakin kamu mampu,ta! Kamu harus semangat! Tunjukkan bahwa kamu mampu, kamu bisa...”
“Tapi mba... semua ini karena aku tak becus mengerjakan pekerjaanku! Aku bingung harus berbuat apa... bagaimana caranya biar semuanya cepat selesai... aku tak bisa berpikir...”
Mba Anisa menghela nafas dalam.
“Tenang, ta... ada Allah...yang senantiasa memberi pertolongan padamu... iyyakana’budu waiyya kanasta’in... dan Allah selalu bersamamu. Kamu hanya harus yakin pada Nya dan pada dirimu sendiri bahwa kamu mampu menyelesaikan ini. Katakanlah pada masalahmu, ‘Hei Masalah Besar! Aku punya Allah yang Maha Besar! Gituuu donk....’”
Perkataan terakhir Mba Anisa mengetuk hatiku. Apa mungkin selama ini aku kurang percaya dan yakin akan Allah? Apa mungkin hatiku tak tenang karena jauh dari Allah? Apa mungkin Allah memberi ini untuk membuatku kuat? Aku kurang bersyukur? Aku terlalu pesimis pada diriku sendiri? aku bertanya pada diriku sendiri.
Ya, aku memang kurang bersyukur, aku terlalu bersuudzon dengan Allah, aku terlalu pesimis dan negative thinking pada Allah dan diriku sendiri, aku terlalu takut dan rendah diri, aku terlalu jauh dari Allah.
Mungkin ini adalah satu teguran Allah untukku, mengingatkanku untuk selalu bersyukur di setiap keadaan yang aku alami, inilah waktu Allah menguji keimananku, inilah waktu untuk aku bermuhasabah diri dan tak boleh kalah dengan duniawi.
‘ya, benar. Aku pasti mampu! Aku pasti mampu melewati ini. Aku pasti mampu menyelesaikan ini. Laahaulaa walaa quwwata illabillah ’.
Ya Allah,,,maaf jika aku selalu mengeluh.
***
Pagi yang cerah menyambutku lewat semburat hangat mataharinya. Aku mulai yakin pada diriku sendiri untuk bisa menghadapi semua dengan senyuman, dengan semangat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yah, aku hanya harus yakin dengan diriku sendiri dan dengan Allah yang Maha Besar.
Hari beranjak siang, banyak telepon masuk yang ditujukan untukku. Tak lain, hanya satu alasan yang membuat mereka meneleponku. Aplikasi bermasalah lagi! Oh...
Belum lagi selesai aku membenarkan kesalahan aplikasi, 2 orang user muncul dari balik pintu menghampiriku dengan wajah merah padam. Aku mencoba tenang. Aku mencoba untuk tidak takut untuk menghadapi semuanya. Dan aku harus kuat! Mampu!
“Kau mampu, meski terkadang kau berkata tidak mampu. Kau bisa meski terkadang kau cepat putus asa. Kau pintar dan tak pantas dirimu mencaci diri sendiri dengan berkata ‘aku bodoh.’. Kau lalai, namun Allah selalu membuka pintu maaf untukmu di setiap saat kau melakukan kelalaian. Janganlah engkau bersedih hati, Allah tiada meninggalkanmu dan tiada pula membenci dirimu. Allah selalu di sampingmu. Kau pasti bisa ta.....”

4 komentar:

Unknown mengatakan...

mantap kaka

Siti Afifah mengatakan...

makasi :)

SUHARTIN GINTING mengatakan...

Bagus tulisan ini.. terima kasih, saya bisa lebih sadar dengan diri saya..
Sekali lagi saya sangat berterima kasih

Siti Afifah mengatakan...

alhamdulillah jika tulisan ini bermanfaat ... :)

Posting Komentar

 
;