Tenggorokanku kering kerontang.
Hari ini matahari seolah tak ingin ditutupi oleh awan. Panasnya begitu
menyengat. Membakar sampai ke tulang. Aku tak tahan. Kipas terus kupegang dan
kulibaskan tuk memberi sedikit angin segar. Ku berjalan menyusuri gang sempit
selebar 1 meteran. Kuputuskan tuk membeli galon air di warung karena galon di
kostan telah habis. Ku membelinya di
warung Cantik yang
letaknya tak begitu jauh dari kostan. Mungkin butuh waktu sekitar 15 menit
untuk berjalan ke sana.
Aku sampai di pertigaan. Ku tutup
hidungku dengan slayer biru karena tak tahan dengan asap kendaraan yang
mengepul di sepanjang jalan. 10 meter lagi aku sampai, namun kakiku tiba-tiba
terhenti . kaku. Mataku menangkap sesosok anak kecil, berpakaian kumal,
berkulit hitam manis dan tanpa alas kaki berlari dan dikejar oleh seorang
ibu-ibu yang berumur sekitar 40an.
“Hei! Jangan lari kamu! Ibu
bilang sini ! dasar anak kurang ajar, sialan kau!”teriak ibu itu.
Anak itu tertangkap dan dipukul
berkali-kali dengan bambu panjang yang jika mengenai kulit sangat perih
tentunya. Anak itu menangis. “ampun bu ,,,ampun,,,tapi mega nggak mau,,,,nggak
mau,,,”
Ucap anak itu terus meronta.
Ia berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman ibunya. Ia berhasil lepas dan lari. Kencang sekali. Ibunya terus
mengejar. Seperti adegan di sinetron saja. Penderitaan seorang anak tiri yang di siksa oleh ibu
tirinya.
Astaghfirullahal’adzim.
Aku masih mematung. Seperti tak
percaya dengan apa yang kulihat barusan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ku tak
berkutik. Aku hanya diam. Bingung. Ini bukan sinetron!
Tiba-tiba seorang ibu berbicara
kepadaku.”Neng, nggak
usah kaget. Itu sudah biasa. Ibu itu sering memaksa anaknya untuk turun ke
jalanan. Mengamen, mengemis atau meminta-minta. Itu sering terjadi di daerah
ini neng, banyak
anak-anak jalanan yang nasibnya seperti Mega.” Jelas ibu itu sambil menepuk
bahuku lalu pergi begitu saja.
“Mega.”
Nama itu terngiang terus di
kepalaku. ‘Tak hanya Mega? Apa
aku tak salah dengar? Anak sekecil itu harus berpanas-panasan di tengah kepulan
asap kendaraan. Aku sendiri hanya tahan sampai 2 jam saja, waktu kemarin harus
turun ke jalan untuk mengumpulkan dana bagi korban bencana! Bagaimana mereka?‘
Aku
hanya termenung membayangkan semuanya. Kulanjutkan perburuan gallon ke warung
Cantik yang kini ada 5 meter dihadapanku. Kering tenggorokanku mungkin tak
seberapa dibanding dengan mereka yang harus mengais rejeki di jalanan. Oh! Aku
sedikit malu.
***
Sore menjelang, malam mulai menyapa. Tapi codinganku masih juga error. Kampusku
yang terletak dekat lampu merah itu tak pernah sepi dengan mahasiswa yang
belajar sampai larut malam. Unik memang, tapi itulah kampusku. tapi tetap saja
aku harus out sebelum jam 10 malam. Itulah peraturannya. Khusus untuk perempuan
sepertiku.
3 jam berlalu tapi tak juga menemukan script yang salah. Tugas buat besok
lagi! Ough! Bagaimana aku harus menyelesaikannya? Waktuku hanya tersisa 1 jam
lagi. Bisakah aku? Jika malam ini tak selesai matilah kau, ta! Aplikasi yang
kubuat dengan bahasa pemrograman java ini memang sederhana. Tapi bagaimana aku
mengerjakannya di asrama tanpa computer/laptop? Hoh!
Aku selalu ingat kata Ustadz Rahmat waktu
training motivasi dulu. Ketika kau kering motivasi dan tak percaya diri dengan
dirimu sendiri, maka kepalkan tanganmu dan katakan dengan sedikit geraman,
‘Semangat, Tita! Kau pasti bisa!’ huaaa….
“Belom selese, ta?”
Suara dingin itu terdengar hangat kali ini,
menyapaku di detik-detik menegangkan ini, membuatku semakin berkeringat dingin.
Betapa tidak? Suara itu adalah suara lelaki yang sedang kutaksir. Rizal.
Seangkatanku satu fakultas, meski beda jurusan dia sering mengikuti perkuliahan
yang sama denganku. Pintar, tampan dan soleh. Siapa yang tak suka padanya.
Hanya satu mungkin yang menyebalkan darinya. Dingin dan keras seperti batu.
“Belom.” Aku menjawab lesu. Kupasang wajah sebiasa
mungkin, meski dalam hati ini ‘dag dig dug’ tak karuan.
“Mana yang error?” tiba-tiba ia mengambil kursi di
sampingku dan mengambil alih mouse yang kupegang sembari mengibas-ibaskan
tangannya mengusir tanganku.
‘Hoh! Kau nggak mimpi ta!’ aku tercenung beberapa
detik. Memandangnya sekilas. Dan berpaling lagi ketika ia melayangkan
pandangannya padaku.
“Yang ini bukan?” tanyanya dengan sorot mata yang
tajam.
“i….iya…” tiba-tiba mulutku tergagap.
Rizal hanya memandangku saat itu. Selanjutnya, ia
terus mengetrace codingan yang kubuat. Focus. Aku hanya diam
memperhatikan. Entah, bukan codingan yang kuperhatikan, melainkan Rizal. Dia baik
juga. Batinku. Dia yang terkenal dingin terhadap cewek. Kini duduk di sampingku
mengerjakan codinganku! Meski sikapnya sedikit dingin. Tapi mungkin
aku adalah salah satu cewek beruntung yang bisa dekat dengannya kini.
“Beres! Siip!” Rizal berkata sangat puas. Setelah
45 menit membetulkan codingan errorku itu.
“Yeah,,,,makasih Rizal…kalo gini aku tenang.” Aku
berjingkrak senang.
“Ente harus belajar lagi, ta!” katanya
sambil berlalu pergi meninggalkanku. Dia memang suka menyebut dirinya dengan
‘ane’ dan kata ganti kamu dengan ‘ente’. Tak ada senyum di bibirnya. Tak ada
kata-kata selamat malam atau salam.
“Iyaaa….makasih,
jal…eh ini ada yang ketinggalan, kresek hitam!” teriakku.
“Itu milikmu…” ia hilang bersama suaranya yang
kecil terdengar.
‘Kresek hitam milikku? Aku tak mengerti apa
maksudnya. Yang jelas ini bukan milikku, tapi mengapa ia bilang ini milikku?’
Pelan kubuka kresek hitam itu. Isinya satu paket
nasi dan ayam bakar plus satu botol aqua. Eh tunggu! Ada secarik kertas
juga!
“Makanlah!”
‘Hoh! Dia tahu aku belum makan! ‘
Aku tak perduli para cowok di lab computer
menatapku heran. Aku berjingkrak kesenangan. Yang penting tugas selesai dan aku
bahagiaa malam ini….
Aku kemasi barangku dan bergegas pergi sebelum
satpam kampus mengusirku. Ini sudah jam 10!
Kulangkahkan kaki cepat. Berbelok di gang sempit
samping kampus. Tak terlalu jauh memang asramaku, tapi jalan yang kulalui
sedikit sepi dan hanya temaram lampu bohlam kecil yang mengiringi perjalanan
malamku itu.
Langkahku terhenti ketika kulihat sesosok anak
kecil duduk di saung dekat jalan menuju asrama. Aku tak berpikir dia hantu. Tak
mungkin itu. Dia hanya menundukkan kepala dan memegang perutnya. Penasaran,
akupun mendekatinya.
“Adik kenapa? Malam-malam begini masih disini?
Nggak di cariin sama mamahnya?”
cerocosku melontarkan pertanyaan kepada anak itu semauku.
Kepalanya tertengadah. Dia tersenyum padaku.
Tangannya berubah dari posisi semula. Melepaskan
dekapan ke perutnya yang cekung.
“Kakak juga….” Ia tersenyum seraya membalikkan
pertanyaanku.
Aku tahu wajah itu. wajah kecil yang kutemui tempo
hari. Kali ini ia terlihat bahagia. Meski ku tahu pasti di balik keramahannya
padaku ia menyimpan sejuta kesedihan.
“Mm…bisa aja ngelesnya.” Ku acak rambutnya yang
merah dan sedikit berantakan itu. wajah cantiknya bisa kulihat meski tertutup
oleh debu-debu yang melekat di wajahnya.
“Kebetulan kakak punya nasi sama ayam bakar. Pasti
kamu suka.” Ku ulurkan kresek hitam yang diberikan oleh Rizal kepadanya.
“Kakak sudah makan?” Mega berujar.
“Sudah. Makanlah.” Ucapku bohong.
“Biar kakak temani sebentar kau disini.” Lanjutku.
Dia tersenyum bahagia. Dari caranya makan ia tak
bisa berbohong kalau dia sangat lapar.
Aku hanya memandanginya lekat. Berkhayal, berusaha memposisikan diriku
pada posisinya. Sungguh malang.
“Oh iya, nama kakak siapa?” sambil mengunyah
makanannya ia melemparkan pertanyaan itu padaku.
“Tita. Dan kamu?” aku pura-pura balik bertanya,
meski ku tahu Mega namanya.
“Mega.” Ucap anak itu antusias sambil mengunyah
nasi terakhirnya.
***
Rizal masih duduk di saung dekat parkir kampus,
ketika aku hendak pulang ke asrama. Dia tak sendiri kali ini. Ada Ria, adik kelasku di sampingnya. Dia terlihat
serius dengan kertas yang Ria berikan. Entah kertas apa. Tapi aku sedikit ‘kegerahan’.
Ada perasaan tak suka menghinggapiku. Aku berlalu di hadapan mereka, tapi tak
satupun yang menyapa. Sampai langkah terakhir ku menjauhi mereka kudengar dia
memanggilku,
“Tita! Jangan lupa tugas Sistem Operasi nya! Jam 3
nanti kumpulin ke ane aja!” teriaknya. Hanya itu. ya hanya sebatas itu. lalu
dia kembali asyik dengan Ria disampingnya.
“Huh! Kenapa? Kenapa harus menyenangkanku tadi
malam kalau siangnya dia hancurkan kesenanganku! Sebaaalll!!!” umpatku seperti
orang gila. Ah! Dia memang baik kepada siapa saja. Aku saja yang terlalu
ke-Gran tadi malam. Ah! Sudahlah!
“Ka Tita….” Bocah dengan cukuran cepak seperti
lelaki itu berlari mendekatiku. Mega. Ia mencium tanganku dan nyengir
melihatku.
“Mega dari jalan lagi?” aku bertanya basa basi.
Meski aku tahu pasti jawabannya pasti itu.
“Iya kak. Habis ngamen. Lumayanlah hari ini dapet
10.000. eh kak, kakak kan kerudungan. Boleh Mega minta kakak ngajarin Mega
ngaji?” kata-kata itu terlontar lancar
dari bocah berumur 9 tahun ini.
“Oh! Dengan senang hati Mega! Tapi kakak bisanya hari
Rabu sampai jumat ba’da maghrib aja… gimana?” aku mengusap rambut cepaknya.
“Iya kak. Nggak apa-apa. Mega seneng.” Dia
berjingkrak seperti mendapatkan hadiah yang lama ia idam-idamkan.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Di luar sana
mungkin masih banyak Mega Mega lain yang berkeliaran di jalan. Pendidikan?
Entahlah. Dari Mega aku tahu bahwa waktunya untuk bermain seperti anak-anak 9
tahun pada umumnya sangatlah sedikit. Bahkan tak ada. Sepulang sekolah tanpa
mengganti bajunya seringkali mereka sudah mangkal di lampu merah. Bayangkan!
Sampai jam 11 malam! Apa orang tua mereka khawatir? Apakah orang tua mereka
mencari mereka? Entahlah. Mega belum cerita banyak. Yang aku tahu dia anak yang
sabar, tekun, murah senyum dan semangat. Ia tak pernah muram kulihat. Selalu
tersenyum. Pernah suatu hari ia bercerita tentang cita-citanya.
“Kak… tahu nggak apa cita-cita Mega?” tanyanya
polos.
“Apa? Boleh kakak tahu?” ucapku.
“Mega ingin jadi penyanyi terkenal. Bisa menyanyi
di TV. Jadi ibu Mega bisa lihat Mega dari tempatnya sekarang.” Ucapnya dengan
mata berbinar.
“Maksud Mega?” tak mengerti dengan kalimat terakhir
yang Mega katakan.
“Ibu kandung Mega sekarang tinggal entah dimana.
Mega hanya ingat waktu terakhir ibu berkata pada Mega, ‘Mega jadi anak yang
berbakti ya. Jangan nangis dan tersenyum selalu di setiap waktu. Ibu akan
mengawasimu dari jauh.’ Hanya itu.” air matanya meleleh sembari mengeluarkan foto
kecil dari sakunya.
“Ini foto keluarga Mega kak. Ini ibu(sambil
menunjuk gambar wanita menggendong bayi), yang di gendong adik Mega yang
terakhir, namanya Rena. Coba tebak Mega yang mana?” ucapnya meledekku.
“Mmm….pasti yang ini, yang pake baju merah, iya
kan?” ku tebak sekenanya,
“Ya….kakak hebat,,,” tangannya memberi tepukan
selamat padaku.
Tiba-tiba ia mengeluarkan selembar kertas berisi
tulisan.
“Kak. Ini surat yang ingin Mega berikan ke ibu.
Terakhir Mega memberikan surat Mega sudah 1 tahun yang lalu, waktu tulisan Mega
masih acak-acakan. Dan itupun terakhir kalinya ibu menemui Mega setelah sekian
lama. Maukah kakak mendengar ku membacanya? “
Aku mengangguk antusias.
“Ibu…ini Mega. Ibu, Mega kangen. Mega sebenernya pengen
banget ibu ada disini. Tapi kata ayah ibu nggak akan pernah kembali. Mega nggak
tahu apa yang terjadi, tapi ibu harus tahu bahwa Mega nggak pernah benci
ibu…tapi kenapa bu? Kenapa ibu nggak bawa Mega ikut pergi? Mega sungguh sayang
sama ibu…ibu…bawa Mega bersama ibu…ibu Mega sayang ibu…” bacanya dengan suara
parau.
Sosok kecil itu kini menangis. Sesenggukan di
pinggir lapangan kecil dekat kampus. Aku hanya mampu meraih badannya kedalam
pelukku. Ku belai rambutnya dan ku elus punggungnya. Anak ini sungguh membuatku
iba. Bahkan kulihat sandalpun dia tak punya. Sungguh memprihatinkan.
***
Nyala lampu hanya remang, menemaniku duduk di saung
dekat kampus. Bayangan Rizal berkelebat mengisi rongga pikirku. Entahlah,
perasaan apa yang aku rasa padanya akupun tak tahu pasti. Namun perasaannya
padakulah yang lebih tak pasti. Oh! Rasanya gila kalau memikirkannya. Aku hanya
membuang waktuku saja. Lagi pula untuk apa? Pacaran memang tak boleh dalam
agama, kecuali ketika aku siap untuk menikah. Sekarang kau masih kuliah ta! Mau
ngapain kamu pelihara perasaan seperti itu! oh! Sungguh menyiksa!
Sosok berperawakan tinggi langsing muncul dari
balik kegelapan, ia terlihat santai berjalan. Sekilas saja ku perhatikan, lalu
kupalingkan wajahku ke arah berlawanan dengan arahnya datang. Dia berhenti.
Tepat di samping kananku.
“Jangan terlalu malam disini. Tak baik.” Katanya
pendek lalu berbalik ke rolling door kampus.
“Apa pedulimu?” tanpa menoleh aku berkata sinis
padanya.
Ia terhenti. Lalu berbalik lagi dan diam sesaat.
“Ente wanita. Kalau ada apa2 gimana?” ia berbicara
lagi.
“Apa pedulimu? Aku ingin disini!” teriakku tanpa
menoleh padanya.
“Up to you!” ucapnya pelan sembari melangkah pergi.
Hoh! Beginilah aku dengannya. Entah apa yang
membuatku jadi seperti ini. Malam sebelumnya ku bisa bercanda dengannya tapi
sekarang aku mencari gara-gara dengannya. Memancing emosinya..fiuuh!
Sosok kecil datang berlari menghampiriku dan
mencium lembut tanganku.
“Kakak…sedang apa?” sapanya
“Kakak sedang kesal!” ucapku..
“Kakak jangan marah, jangan kesel, jangan sedih
ya…ada Mega disini…” ucapnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba dia berdiri ambil posisi dan menyanyi
Menatap indahnya senyuman
di wajahmu…
Membuatku terdiam dan
terpaku….
Mengerti akan indahnya
makna terindah….
Saat kau ....
“Hehehe,,,,” tiba-tiba Mega menyudahi lagunya dan
tertawa.
“Kenapa berhenti Mega? Suara Mega bagus…Terus
kenapa
Mega ketawa? Ada yang lucu sama kakak?”
aku melihat sekujur tubuhku, tapi tak ada yang terlihat aneh kupikir.
“Nggak, kak. Kakak tenang saja yah. Tak usah sedih
juga marah. Orang yang kakak taksir juga naksir kakak ko!” ujar Mega polos.
“Apa? Apa yang kamu bilang tadi
Mega?” aku terkejut mendengar
seorang anak kecil seperti Mega berkata seperti itu. memang sih anak jaman
sekarang sudah berbeda dengan anak jamanku kecil dulu. Mulai dari lagu dewasa yang sudah tidak asing
lagi di telinga mereka sekarang, penampilan mereka yang mulai seperti anak remaja
beranjak dewasa, pikiran mereka yang sudah mulai mengenal kata pacaran. Oh! Mau
jadi apa anak jaman sekarang. Belajarnya loyo dan lebih banyak memikirkan hal
semacam itu di usianya yang terlalu belia. Pun dengan Mega. Dia hampir sama
dengan anak pada umumnya. Hanya yang membedakan ia tahu mana batasan untuk bergaul
dan mengerti tentang hal-hal yang mulai menginjak remaja. Ia tahu membedakan
mana yang belum perlu untuk ia pelajari meski hanya sedikit. Dunianya kini
hanya memikirkan tentang bagaimana mendapatkan uang di tiap harinya. Semua sama
saja. Masa depan mereka sedang terancam.
“Ah! Lupakan! Mega, kakak punya sesuatu buat Mega.
Taraaa!!!” aku memberikan kotak
bersampul kertas kado warna pink pada Mega. Ia terlihat begitu bahagia.
Perlahan ia buka bungkusan dariku,
“Sandal sama celengan? Horeee….. kakak… makasih
ya…” ucap Mega sambil mengusap bulir bening yang tiba-tiba jatuh di pipinya.
“itu hadiah buat Mega biar lebih rajin ngajinya.
Yuk kita ngaji sekarang, ngajinya di mesjid kampus aja ya…” aku menggandeng
tangan kecil Mega. Ia mengangguk pasti. Sangat bersemangat.
Magrib itu menyisakan kebimbangan bagiku.
Kebimbangan akan perasaanku sendiri yang belum mampu untuk aku tahan dan
simpan. Entahlah. Yang jelas aku tak boleh kalah dengan perasaanku sendiri.
‘Allah….jaga hatiku…’ malu rasanya ingat kejadian beberapa hari yang lalu
ketika aku berjingkrak di lab computer,
***
To be continued....
0 komentar:
Posting Komentar