Bayangan
Sonya masih begitu lekat dalam pelupuk mata. Gadis cantik jelita yang menjadi
primadona di kampus itu menyihir alam bawah sadar Doni sampai tergila-gila.
Meski ia tahu bahwa Sonya sudah ada yang punya, tapi tak menjadi halangan
baginya untuk mendekati Sonya. Dan hari ini, keberanian itu bukan hanya sekedar
niat semata. Ia datang menghampiri Sonya yang sedang duduk di sudut
perpustakaan.
“Bolehkah
saya duduk disini?” Pinta Doni
menyuguhkan senyuman termanis yang ia punya. Menebar pesona agar mangsa termakan rayuannya.
menyuguhkan senyuman termanis yang ia punya. Menebar pesona agar mangsa termakan rayuannya.
Mata Sonya yang sedang asyik membaca terpaksa
harus berpaling mengarahkan pandangannya pada Doni yang sama sekali tak ia
kenal.
“Oh,
tentu saja.” Jawab gadis berambut ikal dan berpostur tinggi langsing itu.
Wah!
Gayung bersambut bisik Doni. Serangan awal tlah diluncurkan, serangan
berikutnya.
“Boleh
kenalan? Nama saya Doni. Kamu Sonya anak Fakultas Psikologi ya?”
Sonya
mengernyitkan dahinya , kenapa nih orang bisa tahu namaku?
“Aneh
ya? Ku bisa tahu nama kamu. Siapa sih yang ga tahu Sonya di kampus ini. Sonya
pemenang Ajang Ratu Kampus dan menyandang gelar Primadona?” Cerocos Doni
sebelum Sonya melempar pertanyaan padanya.
Pipi
Sonya memerah, merasa tersanjung dengan
semua kata-kata Doni.
“Terima
kasih atas pujiannya. By the way kau anak Fakultas apa?”
Obrolan
terus berlanjut, semakin seru. Tak disangka Sonya bukan tipe cewek yang pemalu
dan sulit diajak ngobrol oleh siapapun. Sampai 3 jam lebih mereka ngobrol
kesana kemari. Sampai keduanya dikagetkan oleh suara menggelegar Rocky. Sang
preman kampus yang ditakuti oleh siapapun yang ada di kampusnya. Semua orang
buru-buru menutup buku dan bergegas pergi dari perpustakaan. Tak mau
berlama-lama di perpustakaan. Setiap Rocky datang pasti ada saja keonaran yang
dibuatnya. Derap langkahnya terdengar keras menghentak lantai perpustakaan.
Semua rak buku seolah ikut bergetar menatap wajah Rocky yang sangar. Namun,
mengapa ia semakin dekat, dekat dan kini ia tlah berdiri di hadapan Doni.
Tatapannya menyelidik, seolah ingin menginterogasi Doni lebih dalam. Hening
sesaat, suasana seolah menjadi beku setelah kedatangan Rocky. Tiba-tiba Sonya
angkat bicara.
“Sayang,
kenalkan dia teman baruku. Namanya Doni.” Sonya bergelayut manja pada Rocky.
Wah!
Sayang? Apa tak salah dengar? Selama ini ternyata pacar Sonya adalah Rocky? Oh
My God! Nyali Doni semakin menciut.
“Tadi
dia mencoba merayuku, sayang. Tapi tenang saja. Dia baik ko,” Sonya menggenggam
erat tangan Rocky.
Oh!
Ternyata Sonya berubah 180 derajat, sesaat sebelum Rocky datang, ia tak hanya
menanggapi rayuanku. Bahkan ia sempat menawariku untuk main ke kosannya. Setelah
Rocky datang? Huh, apa ini?
Tak
banyak bicara, Rocky memberi aba-aba kepada anak buahnya. Dan dalam hitungan
detik, 2 bogem mentah tlah mendarat di wajah Doni.
***
Derit
pintu membangunkan Doni yang kini terkapar di sudut ruang yang besarnya tak lebih dari 3x4 m2. Tangannya
mengucek-ucek mata dan masih mengumpulkan nyawa. Yang ia ingat setelah 2 bogem mentah mendarat
di wajahnya, cepat-cepat ia lari menjauh dari perpustakaan. Lari
sekencang-kencangnya, tak perduli di sudut kanan bibirnya berdarah dan pipi
kanannya terdapat warna biru memar.
Kepalanya terasa berputar dan ia butuh tempat tuk tetap bertahan.
Mushola.
Ya, kakinya tepat berada di depan mushola yang letaknya berseberangan dengan
kampusnya. Mungkin ia bisa beristirahat disana. Rocky tak akan menghampiri
mushola, Doni yakin. Apalagi rumah dekat mushola itu kini sedang ramai orang,
entahlah sedang ada hajatan mungkin, yang
pasti Doni tak perhatikan. Yang ada di pikirannya kini adalah berbaring dan mengompres
lukanya dengan air. Itu terakhir yang ia ingat. Selanjutnya mungkin tertidur
pulas.
Seorang
Kakek tua masuk dan perlahan mendekatinya.
“Adik sudah sholat Asar?” tanya kakek tua yang
terlihat bersahaja dengan pakaiannya yang meski tak baru tapi terlihat bersih
dan rapih.
“Mm….belum
pak” Doni menjawab dengan sedikit ragu. Sholat? Kapan terakhir ia sholat. Ia
sendiri lupa akan bacaan sholat, semenjak masuk kuliah dan bergaul dengan
teman-temannya yang suka nongkrong, bolos kuliah, clubbing, bahkan minum-minum
menjadi hal yang tak asing lagi baginya. Dan kini kata sholat baru terdengar
lagi di telinganya.
Doni
tak bergeming. Sejenak ia berpikir ‘Turuti
saja lah kata orang tua ini, biar ga di ceramahin tambah panjang lagi.’
Selanjutnya ia melangkah ke luar mengambil air wudhu. ‘Kalo wudhu sih masih
inget lah urutannya. Niatnya? Gimana ya…’. Doni ngeloyor keluar sambil berusaha
mengembalikan ingatan niat wudhunya.
“Allahu
akbar.” Niat shalat seingatnya, Doni mengangkat tangannya sampai kedua
telinganya dan menangkupkannya di dada, tepatnya di atas pusar dan dibawah
dada. Ia masih ingat itu. tapi selanjutnya? Ia terbata-bata membaca surat al
fatihah. Lupa akan surat-surat pendek yang dulu pernah ia hafal, lupa bagaimana
cara rukuk yang baik, bagaimana cara sujud yang benar dan parahnya, berapa
rokaat yang harus ia kerjakan sekarang?
Dengan
memeras otak mengingat semua aturan dan bacaan solat, akhirnya Doni sampai pada
salam. Entah mengapa pikirannya sedikit tenang, tak lagi muncul bayangan Sonya
yang parasnya 11, 12 dengan artis korea itu.
“Aw!” Doni mengaduh sembari memegang pipinya
yang lebam.
“Kenapa
kau dipukul?” tiba-tiba kakek tua sudah duduk di samping kirinya.
“Mm…ini
pak, tadi ada preman kampus yang tak suka dengan kehadiran saya.” Ucap Doni
memelas.
“Bukan
karena wanita kan?” Kakek tua itu tiba-tiba menatap tajam wajah Doni. Berusaha
menemukan jawaban yang bukan hanya sebuah jawaban basa basi, tapi jawaban yang
jujur.
“Hm,
mengapa bapak bertanya seperti itu?” Doni tak lantas menjawab, mengapa kakek
tua itu langsung bisa menebak bahwa ia dipukul hanya karena masalah wanita.
“Tak
perlu kau menjawabnya, saya tau jawabanmu nak. Boleh bapak bercerita?” tanpa
menunggu jawaban dari Doni Kakek tua yang murah senyum itu membetulkan posisi
duduknya. Seolah akan memberikan sebuah dongeng pada cucunya yang sudah lama
tak berjumpa. Doni hanya mengangguk pelan.’ Aduh! Kenapa malah jadi mendongeng.
Dasar orang tua!’ gumam Doni.
“Santai
saja nak. Tenang…Bapak hanya akan bercerita sepenggal cerita masa muda bapak.
Masa muda yang jika bapak bisa putar kembali, bapak tak mau mengulangi
keputusan besar yang bapak ambil waktu itu. Mungkin kau yang masih muda bisa
belajar dari cerita bapak nanti. Jika membosankan, kau boleh pergi.” air muka
kakek tua itu sedikit berubah, entah mengapa seperti sebuah penyesalan mendalam
akan keputusan masa lalu yang pernah ia ambil.
“Tentang
apa pak?” tanya Doni penasaran.
“Ini
tentang seorang wanita. Wanita yang hampir mirip dengan Sonya.”
Tunggu,
mengapa kakek tua ini tau nama Sonya? Dari mana? Doni sedikit bingung dengan
apa yang di dengarnya. Dia belum sempat sedikitpun menyebut nama Sonya dalam ucapannya.
“Tak
usah panik seperti itu nak. Kau tadi mengigau nama Sonya. Jadi bapak ambil kesimpulan
wanita cantik yang kau idamkan itu Sonya namanya.” Terang kakek tua yang
wajahnya teduh ini.
Doni
menghela nafas lega. Ternyata bukan dukun, orang pintar atau makhluk halus yang
ada dihadapannya saat ini. Tangannya
kembali rileks setelah beberapa detik tegang mendengar nama Sonya keluar dari
bibir kakek tua itu.
“Namanya
Ratna. Bapak tak pernah sedikitpun berani untuk membayangkannya.
Apalagi untuk mengenal dan menikahinya. Sungguh nak, dia itu seorang kembang
desa. Banyak yang ingin menikahinya ketika dia lulus SMA. Kalo bapak, jangan
ditanya pasti ingin juga. Tapi waktu itu bapak belum berani datang ke rumahnya.
Sampai teman bapak, Rano terus memberi semangat pada bapak untuk terus mengejar
Ratna. ‘Ayo kawan jangan putus asa!’ Akhirnya 2 minggu kemudian, ba’da maghrib bapak
beranikan diri untuk datang kerumah Ratna.” Wajah kakek tua itu berseri-seri
sambil menatap langit-langit mushola. Mungkin sedang membayangkan masa-masa
itu.
“Lalu
bagaimana pak? Bapak melamarnya?” Doni terlihat antusias.
“Bapak datang sendiri dengan hanya berbekal jaket
kulit yang bapak kenakan untuk melindungi diri dari hujan, dan sebongkah
keberanian menemui kedua orang tuanya. Keringat mengucur dari seluruh tubuh
bapak,nak. Wah! Bener-bener takut. Tapi bapak yakin saja. Ratna membuka pintu
dan mempersilahkanku duduk. Kita belum kenal. Bahkan mungkin Ratna baru tahu
dan lihat diriku saat itu. selang berapa lama bapaknya menemuiku. Disitu
detik-detik menegangkan. Benar-benar menegangkan seperti menghadapi sebuah
pertarungan maha dahsyat. Bapak hanya ditanya beberapa pertanyaan. Dan
kesemuanya menyangkut dengan harta. Bapak tak berani untuk berbohong, tapi
bapak tak mau begitu saja menyerah untuk mendapatkan Ratna. Akhirnya Bapak
Ratna mengajukan beberapa syarat kepada Bapak.”
“Apa
syaratnya pak?” Doni memotong cerita kakek tua.
“Bapak
harus menyediakan uang sebesar 10 juta waktu itu. Harus terkumpul dalam kurun
waktu sebulan. Sebagai mahar untuk Ratna. 10 juta waktu itu adalah uang yang
sangat banyak, nak! Beruntung bapak
masih punya sepetak sawah warisan orang tua. Beruntung lagi waktu itu bapak
masih memiliki kedudukan yang lumayan di pabrik tempat bapak bekerja. Bapak jual barang-barang yang ada di rumah.
Bapak pakai tabungan bapak untuk memenuhi semua kekurangan. Akhirnya genap 10
juta di tangan. Dan secepat kilat, bapak lamar Ratna dengan uang 10 juta itu.
Bapak sangat senang, mimpi bapak akhirnya terwujud. Memiliki istri yang cantik,
yang menjadi dambaan semua orang di desa bapak waktu itu.” Kakek tua berhenti
sesaat, menghirup nafas sejenak.
“Bosan
ya mendengar cerita bapak?” Sergap kakek tua pada Doni.
“Sudah
pak? Akhirnya bapak dan wanita impian bapak itu bahagia ya…?” Doni menerka akhir dari cerita kakek tua,
berharap ia kan mendapatkan wanita impiannya seperti kakek tua ini.
Bayang-bayang
Sonya kembali menyergap angan Doni. Ia sudah tahu sikap Sonya tadi siang. Tapi
tetap saja, ‘Namanya cinta…aku akan terus kejar kamu Sonya! Seperti kakek tua
ini mengejar pujaan hatinya, Ratna.’
“Belum,
nak. Itu hanya episode awal dalam kehidupan bapak. Bapak akan ceritakan sampai
akhir hayat bapak.” Ucap kakek tua
dengan tatapan tetap focus ke depan.
Akhir
hayat? Sampai mati donk? Ah, mungkin maksudnya sampai akhir yang bahagia. Bisik
Doni dalam hati.
“Pernikahan
kami berlangsung meriah, karena permintaan Ratna pernikahannya harus
dilaksanakan dengan mewah dan Nanggap wayang 3 hari 3 malam. Semuanya harus serba
megah! Itulah yang menjadi impiannya sejak dulu, ingin menjadi pengantin paling
glamour di desa ini. Semua uang bapak
lumayan terkuras hanya untuk pernikahan bapak. Tapi demi Ratna bahagia, tak apa
lah”.
“
Sebulan dua bulan, bapak yang semula hanya kenal Ratna dari wajah cantiknya
saja, mulai mengerti bahwa Ratna tidak cukup pendiam. Dia lumayan cerewet dan
konsumtif. Tapi perempuan , saya maklumi saja. Meski begitu, rumah tangga kita
terhitung bahagia. Memasuki 7 bulan pernikahan Ratna hamil. Disaat seperti itu kondisi keuangan mulai
memburuk. Semua pegawai pabrik dirumahkan. Entah apa alasannya bapakpun tak
tahu, yang pasti dalam seminggu itu bapak perjuangkan nasib bapak dan
teman-teman, namun nihil. Akhirnya bapak kerja serabutan. Dari mulai kuli
bangunan, nyangkul di sawah, pokoknya segala macam pekerjaan bapak lakoni untuk
memenuhi kebutuhan istri dan anak bapak yang ada dalam kandungan. Semakin hari
seiring bertambah besar perutnya, emosinya pun ikut naik. Dia bertambah cerewet. Ingin ini, ingin itu. Ya
semuanya. Sampai jungkir balik bapak bekerja demi keluarga kecil bapak. Benar.
Perjuangan itu telah bapak rasakan. Setelah anak pertama lahir, disusul anak
kedua dan ketiga Ratna semakin konsumtif, ditambah mulai suka mengatur bapak.
Dia mulai mencari bisnis yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Tak puas
dengan uang belanja yang bapak berikan. Rumah tangga kami sering cekcok.
Anak-anak tak terurus. Semuanya karena bapak tak punya uang yang cukup banyak untuk
memenuhi semua keinginannya.
Anak-anakpun kurang kasih sayang kami berdua, karena kami terlalu sibuk
mencari uang.”
“Ketika
mereka besar. Tak satupun dari mereka yang jadi orang. Bapak tak berharap
mereka jadi orang kaya. Minimal tak menyusahkan bapak. Tapi harapan itu
percuma. Anak pertama bapak kini berada di rumah sakit rehabilitasi, dia
terlibat kasus narkoba. Anak kedua bapak perempuan. Dia hamil di luar nikah
ketika dia masih sekolah. Terpaksalah bapak nikahkan dia dengan laki-laki
kurang ajar yang menghamilinya. Dia bercerai dengan suaminya dan sekarang hidup
menjanda. Anak ketiga bapak, terlibat genk motor, dan kini mendekam di balik
jeruji besi karena kasus pencurian motor. Huft! Tak ada yang bisa ku banggakan
dari mereka, nak! Satu lagi, Sekarang aku dan Ratna tlah bercerai. Entah kemana
dia sekarang. Bapakpun tak tahu.” kakek
tua mendesah.
Tiba-tiba
muncul bayangan bapak di pelupuk mata Doni. Apakah perasaan tiap orang tua
sama? ‘Kalo aku masih mending lah, ga pernah nyampe punya kasus kaya gitu.
Paling Cuma clubbing sama temen, minum, itupun tak banyak. Tak pernah
sedikitpun ku sentuh narkoba! Tapi, tak satupun orang tuaku tahu perilakuku
sekarang. Pastinya mereka kan marah kalo tahu aku begini. Tapi udah lah! Pusing
mikirinnya.’
“Tak
usah pusing nak!”
Suara
kakek tua itu menyadarkan lamunan Doni. Kenapa sepertinya kakek ini tahu yang dia
pikirkan?
“Kau
masih muda. Tak ada alasan bagimu untuk mengambil keputusan yang sama dengan
bapak. Karena kau telah mendengar cerita bapak dari awal sampai akhir. Wanita
cantik hanya kesemuan belaka. Cantiknya akan layu termakan zaman. Rasulullah
telah bersabda : ‘Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena
kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan
menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau’.
“Nikahilah
wanita karena 4 hal tadi. Namun janganlah engkau pilih wanita karena hartanya
saja, cantiknya saja, atau nasabnya saja. Tapi pilihlah wanita karena agamanya.
Maka kau akan bahagia, nak. Dan sebelum kau pilih wanita yang baik agamanya.
Perbaiki dulu hati dan agamamu! Orang yang baik hanya untuk orang-orang yang
baik. Begitupun sebaliknya. Baik-baiklah jadi orang. Hidup ini Cuma sekali nak!
Jangan kau sia-siakan. Jangan seperti
bapak. Hanya sesal saja. Tapi tak ada kata terlambat untuk taubat.
Semoga Allah menolongmu nak!” Kakek tua mengakhiri ceritanya dengan menepuk
pundak Doni dan menatap teduh mata Doni. Wajahnya teduh dan bertambah teduh.
Kini
Doni hanya termenung dengan semua perkataan kakek tua itu. Semua pesona Sonya
seolah hilang ditelan oleh kata-kata kakek tadi. Agama? Bagaimana dia bisa
mendapatkan wanita beragama jika saat ini ia sendiri hanya punya agama KaTePe!
Bagaimana dia bisa punya istri yang baik nantinya kalau sekarang saja kerjanya
hanya nongkrong, clubbing dan mabuk-mabukan! Terbersit titik terang dalam
hatinya. Entah dari mana, tapi seolah menyejukkan hatinya yang haus akan iman.
Allah? Mungkin sudah lama nama itu tak pernah ada dalam pikir dan hatinya. OH!
Bapak ibu… terbayang wajah mereka. Tak pernah sekalipun memberikan kabar terlebih
dahulu pada orang tua. Selalu saja orang tuanya yang lebih dahulu menanyakan
kabar Doni. Hidup? untuk apa sebenarnya?
“Allahu
akbar, allahu akbar….”
Sayup
terdengar suara pemuda sepelantaran Doni mengumandangkan adzan maghrib di dekat
podium mushola kecil itu. Doni baru tersadar bahwa kakek tua itu sudah pergi
meninggalkannya. ‘Aku terlalu lama melamun. Sampai kakek tua itu pergi pun aku
tak sadar.’
Kata-kata
kakek itu kini selalu terngiang di telinga Doni. Ia tak lantas pergi
meninggalkan mushola. Ia kembali beranjak ke tempat wudhu. Kini ia benar-benar
berusaha semaksimal mungkin mengingat semua aturan wudhu dan sholat. Ia kembali
dengan air wudhu yang kini menghiasi wajahnya. Jamaah di mushola ini sangat
banyak untuk ukuran mushola. Sampai di teras dan halamannya pun di gelar tenda
dan sajadah untuk para jamaah yang tak mendapatkan tempat kosong lagi di dalam.
“Assalamu’alaikum
warohmatullah….”
“Assalamu’alaikum
warohmatullah….” Lirih Doni mengakhiri sholatnya dengan salam. Doni mengikuti
Dzikir yang di pimpin oleh imam sholat. Seorang bapak-bapak membagikan buku
Yasin.
“Pak,
ada orang yang meninggal ya?” bisik Doni pada seorang Bapak yang duduk persis
di samping kanannya.
“Iya,
mas. Sudah seminggu beliau meninggal. Rumahnya selalu ramai dengan orang yang
ingin melayatnya. Meski hanya tetangganya yang ada di rumahnya, dan jasadnya
sudah dikebumikan, tapi tetap ada saja yang melayatnya. Kalau mas pengen tau
orangnya yang mana, lihat saja di buku yasin itu. ada fotonya.” Terang bapak
yang mengaku sebagai teman kecil almarhum.
Senandung
Yasin mulai terlantun dari bibir-bibir jamaah. Sedang Doni membuka lembaran
Yasin satu demi satu. Matanya terbelalak ketika melihat di lembaran kedua
terpampang foto kakek tua yang ngobrol bersamanya tadi. Dia mengucek matanya.
Tak percaya dengan yang dilihatnya. Angin dingin kini berhembus di sekujur
tubuhnya. ‘Pasti ini mimpi! Atau tadi aku mimpi!’
Tiba-tiba
Doni yang duduk di sudut mushola belakang ingin menoleh ke pintu. Pandangannya
tertuju pada sesosok kakek tua berbaju putih berdiri di dekat pintu mushola.
Tersenyum teduh. Bahkan lebih teduh dibandingkan sebelumnya. Ia tersenyum dan
mengangguk pada Doni. Apa artinya ia mengiyakan semua ini? Berkata bahwa ini
bukan mimpi?
Gemuruh
yasin terus menggema di setiap sudut mushola. Menghantarkan doa untuk arwah
sang kakek tua. Doni yang tertinggal jauh membacanya, dan entah dia masih bisa
membacanya atau tidak. Kini hanya tertunduk. Termenung dan terngiang semua
kata-kata kakek tua tadi. ‘Iya, pak. Insyaallah aku kan perbaiki diriku.’
Bayang-bayang
Sonya tak lagi ganggu tidur dan alam khayalnya. Pesona Sonya layu seketika saat
Doni tahu bahwa cantik bukan dilihat dari mata. Tapi mata hati.
0 komentar:
Posting Komentar