Rabu, 16 November 2011

CantiQ


Bayangan Sonya masih begitu lekat dalam pelupuk mata. Gadis cantik jelita yang menjadi primadona di kampus itu menyihir alam bawah sadar Doni sampai tergila-gila. Meski ia tahu bahwa Sonya sudah ada yang punya, tapi tak menjadi halangan baginya untuk mendekati Sonya. Dan hari ini, keberanian itu bukan hanya sekedar niat semata. Ia datang menghampiri Sonya yang sedang duduk di sudut perpustakaan. 
“Bolehkah saya duduk disini?” Pinta Doni
menyuguhkan senyuman termanis yang ia punya. Menebar pesona agar mangsa termakan rayuannya.
 Mata Sonya yang sedang asyik membaca terpaksa harus berpaling mengarahkan pandangannya pada Doni yang sama sekali tak ia kenal.
“Oh, tentu saja.” Jawab gadis berambut ikal dan berpostur tinggi langsing itu.
Wah! Gayung bersambut bisik Doni. Serangan awal tlah diluncurkan, serangan berikutnya.
“Boleh kenalan? Nama saya Doni. Kamu Sonya anak Fakultas Psikologi ya?”
Sonya mengernyitkan dahinya , kenapa nih orang bisa tahu namaku?
“Aneh ya? Ku bisa tahu nama kamu. Siapa sih yang ga tahu Sonya di kampus ini. Sonya pemenang Ajang Ratu Kampus dan menyandang gelar Primadona?” Cerocos Doni sebelum Sonya melempar pertanyaan padanya.
Pipi Sonya memerah, merasa tersanjung  dengan semua kata-kata Doni.
“Terima kasih atas pujiannya. By the way kau anak Fakultas apa?” 
Obrolan terus berlanjut, semakin seru. Tak disangka Sonya bukan tipe cewek yang pemalu dan sulit diajak ngobrol oleh siapapun. Sampai 3 jam lebih mereka ngobrol kesana kemari. Sampai keduanya dikagetkan oleh suara menggelegar Rocky. Sang preman kampus yang ditakuti oleh siapapun yang ada di kampusnya. Semua orang buru-buru menutup buku dan bergegas pergi dari perpustakaan. Tak mau berlama-lama di perpustakaan. Setiap Rocky datang pasti ada saja keonaran yang dibuatnya. Derap langkahnya terdengar keras menghentak lantai perpustakaan. Semua rak buku seolah ikut bergetar menatap wajah Rocky yang sangar. Namun, mengapa ia semakin dekat, dekat dan kini ia tlah berdiri di hadapan Doni. Tatapannya menyelidik, seolah ingin menginterogasi Doni lebih dalam. Hening sesaat, suasana seolah menjadi beku setelah kedatangan Rocky. Tiba-tiba Sonya angkat bicara.
“Sayang, kenalkan dia teman baruku. Namanya Doni.” Sonya bergelayut manja pada Rocky.
Wah! Sayang? Apa tak salah dengar? Selama ini ternyata pacar Sonya adalah Rocky? Oh My God! Nyali Doni semakin menciut.
“Tadi dia mencoba merayuku, sayang. Tapi tenang saja. Dia baik ko,” Sonya menggenggam erat tangan Rocky.
Oh! Ternyata Sonya berubah 180 derajat, sesaat sebelum Rocky datang, ia tak hanya menanggapi rayuanku. Bahkan ia sempat menawariku untuk main ke kosannya. Setelah Rocky datang? Huh, apa ini?
Tak banyak bicara, Rocky memberi aba-aba kepada anak buahnya. Dan dalam hitungan detik, 2 bogem mentah tlah mendarat di wajah Doni.
***
Derit pintu membangunkan Doni yang kini terkapar di sudut  ruang  yang besarnya tak lebih dari 3x4 m2. Tangannya mengucek-ucek mata dan masih mengumpulkan nyawa.  Yang ia ingat setelah 2 bogem mentah mendarat di wajahnya, cepat-cepat ia lari menjauh dari perpustakaan. Lari sekencang-kencangnya, tak perduli di sudut kanan bibirnya berdarah dan pipi kanannya terdapat warna biru memar.  Kepalanya terasa berputar dan ia butuh tempat tuk tetap bertahan. 
Mushola. Ya, kakinya tepat berada di depan mushola yang letaknya berseberangan dengan kampusnya. Mungkin ia bisa beristirahat disana. Rocky tak akan menghampiri mushola, Doni yakin. Apalagi rumah dekat mushola itu kini sedang ramai orang, entahlah  sedang ada hajatan mungkin, yang pasti Doni tak perhatikan. Yang ada di pikirannya kini adalah berbaring dan mengompres lukanya dengan air. Itu terakhir yang ia ingat. Selanjutnya mungkin tertidur pulas. 
Seorang Kakek tua masuk dan perlahan mendekatinya.
 “Adik sudah sholat Asar?” tanya kakek tua yang terlihat bersahaja dengan pakaiannya yang meski tak baru tapi terlihat bersih dan rapih. 
“Mm….belum pak” Doni menjawab dengan sedikit ragu. Sholat? Kapan terakhir ia sholat. Ia sendiri lupa akan bacaan sholat, semenjak masuk kuliah dan bergaul dengan teman-temannya yang suka nongkrong, bolos kuliah, clubbing, bahkan minum-minum menjadi hal yang tak asing lagi baginya. Dan kini kata sholat baru terdengar lagi di telinganya.
Doni tak bergeming. Sejenak ia berpikir  ‘Turuti saja lah kata orang tua ini, biar ga di ceramahin tambah panjang lagi.’ Selanjutnya ia melangkah ke luar mengambil air wudhu. ‘Kalo wudhu sih masih inget lah urutannya. Niatnya? Gimana ya…’. Doni ngeloyor keluar sambil berusaha mengembalikan ingatan niat wudhunya. 
“Allahu akbar.” Niat shalat seingatnya, Doni mengangkat tangannya sampai kedua telinganya dan menangkupkannya di dada, tepatnya di atas pusar dan dibawah dada. Ia masih ingat itu. tapi selanjutnya? Ia terbata-bata membaca surat al fatihah. Lupa akan surat-surat pendek yang dulu pernah ia hafal, lupa bagaimana cara rukuk yang baik, bagaimana cara sujud yang benar dan parahnya, berapa rokaat yang harus ia kerjakan sekarang? 
Dengan memeras otak mengingat semua aturan dan bacaan solat, akhirnya Doni sampai pada salam. Entah mengapa pikirannya sedikit tenang, tak lagi muncul bayangan Sonya yang parasnya 11, 12 dengan  artis korea itu. 
 “Aw!” Doni mengaduh sembari memegang pipinya yang lebam.
“Kenapa kau dipukul?” tiba-tiba kakek tua sudah duduk di samping kirinya.
“Mm…ini pak, tadi ada preman kampus yang tak suka dengan kehadiran saya.” Ucap Doni memelas.
“Bukan karena wanita kan?” Kakek tua itu tiba-tiba menatap tajam wajah Doni. Berusaha menemukan jawaban yang bukan hanya sebuah jawaban basa basi, tapi jawaban yang jujur.
“Hm, mengapa bapak bertanya seperti itu?” Doni tak lantas menjawab, mengapa kakek tua itu langsung bisa menebak bahwa ia dipukul hanya karena masalah wanita.
“Tak perlu kau menjawabnya, saya tau jawabanmu nak. Boleh bapak bercerita?” tanpa menunggu jawaban dari Doni Kakek tua yang murah senyum itu membetulkan posisi duduknya. Seolah akan memberikan sebuah dongeng pada cucunya yang sudah lama tak berjumpa. Doni hanya mengangguk pelan.’ Aduh! Kenapa malah jadi mendongeng. Dasar orang tua!’ gumam Doni.
“Santai saja nak. Tenang…Bapak hanya akan bercerita sepenggal cerita masa muda bapak. Masa muda yang jika bapak bisa putar kembali, bapak tak mau mengulangi keputusan besar yang bapak ambil waktu itu. Mungkin kau yang masih muda bisa belajar dari cerita bapak nanti. Jika membosankan, kau boleh pergi.” air muka kakek tua itu sedikit berubah, entah mengapa seperti sebuah penyesalan mendalam akan keputusan masa lalu yang pernah ia ambil.
“Tentang apa pak?” tanya Doni penasaran.
“Ini tentang seorang wanita. Wanita yang hampir mirip dengan Sonya.”
Tunggu, mengapa kakek tua ini tau nama Sonya? Dari mana? Doni sedikit bingung dengan apa yang di dengarnya. Dia belum sempat sedikitpun menyebut nama Sonya dalam ucapannya.
“Tak usah panik seperti itu nak. Kau tadi mengigau nama Sonya. Jadi bapak ambil kesimpulan wanita cantik yang kau idamkan itu Sonya namanya.” Terang kakek tua yang wajahnya teduh ini.
Doni menghela nafas lega. Ternyata bukan dukun, orang pintar atau makhluk halus yang ada dihadapannya saat ini.  Tangannya kembali rileks setelah beberapa detik tegang mendengar nama Sonya keluar dari bibir kakek tua itu.
“Namanya Ratna.  Bapak tak pernah  sedikitpun berani untuk membayangkannya. Apalagi untuk mengenal dan menikahinya. Sungguh nak, dia itu seorang kembang desa. Banyak yang ingin menikahinya ketika dia lulus SMA. Kalo bapak, jangan ditanya pasti ingin juga. Tapi waktu itu bapak belum berani datang ke rumahnya. Sampai teman bapak, Rano terus memberi semangat pada bapak untuk terus mengejar Ratna. ‘Ayo kawan jangan putus asa!’ Akhirnya 2 minggu kemudian, ba’da maghrib bapak beranikan diri untuk datang kerumah Ratna.” Wajah kakek tua itu berseri-seri sambil menatap langit-langit mushola. Mungkin sedang membayangkan masa-masa itu.
“Lalu bagaimana pak? Bapak melamarnya?” Doni terlihat antusias.
“Bapak  datang sendiri dengan hanya berbekal jaket kulit yang bapak kenakan untuk melindungi diri dari hujan, dan sebongkah keberanian menemui kedua orang tuanya. Keringat mengucur dari seluruh tubuh bapak,nak. Wah! Bener-bener takut. Tapi bapak yakin saja. Ratna membuka pintu dan mempersilahkanku duduk. Kita belum kenal. Bahkan mungkin Ratna baru tahu dan lihat diriku saat itu. selang berapa lama bapaknya menemuiku. Disitu detik-detik menegangkan. Benar-benar menegangkan seperti menghadapi sebuah pertarungan maha dahsyat. Bapak hanya ditanya beberapa pertanyaan. Dan kesemuanya menyangkut dengan harta. Bapak tak berani untuk berbohong, tapi bapak tak mau begitu saja menyerah untuk mendapatkan Ratna. Akhirnya Bapak Ratna mengajukan beberapa syarat kepada Bapak.”

“Apa syaratnya pak?” Doni memotong cerita kakek tua.
“Bapak harus menyediakan uang sebesar 10 juta waktu itu. Harus terkumpul dalam kurun waktu sebulan. Sebagai mahar untuk Ratna. 10 juta waktu itu adalah uang yang sangat banyak, nak!  Beruntung bapak masih punya sepetak sawah warisan orang tua. Beruntung lagi waktu itu bapak masih memiliki kedudukan yang lumayan di pabrik tempat bapak bekerja.  Bapak jual barang-barang yang ada di rumah. Bapak pakai tabungan bapak untuk memenuhi semua kekurangan. Akhirnya genap 10 juta di tangan. Dan secepat kilat, bapak lamar Ratna dengan uang 10 juta itu. Bapak sangat senang, mimpi bapak akhirnya terwujud. Memiliki istri yang cantik, yang menjadi dambaan semua orang di desa bapak waktu itu.” Kakek tua berhenti sesaat, menghirup nafas sejenak.
“Bosan ya mendengar cerita bapak?” Sergap kakek tua pada Doni.
“Sudah pak? Akhirnya bapak dan wanita impian bapak itu bahagia ya…?”  Doni menerka akhir dari cerita kakek tua, berharap ia kan mendapatkan wanita impiannya seperti kakek tua ini.
Bayang-bayang Sonya kembali menyergap angan Doni. Ia sudah tahu sikap Sonya tadi siang. Tapi tetap saja, ‘Namanya cinta…aku akan terus kejar kamu Sonya! Seperti kakek tua ini mengejar pujaan hatinya, Ratna.’
“Belum, nak. Itu hanya episode awal dalam kehidupan bapak. Bapak akan ceritakan sampai akhir hayat bapak.”  Ucap kakek tua dengan tatapan tetap focus ke depan.
Akhir hayat? Sampai mati donk? Ah, mungkin maksudnya sampai akhir yang bahagia. Bisik Doni dalam hati.
“Pernikahan kami berlangsung meriah, karena permintaan Ratna pernikahannya harus dilaksanakan dengan mewah dan Nanggap  wayang 3 hari 3 malam. Semuanya harus serba megah! Itulah yang menjadi impiannya sejak dulu, ingin menjadi pengantin paling glamour di desa ini. Semua uang bapak lumayan terkuras hanya untuk pernikahan bapak. Tapi demi Ratna bahagia, tak apa lah”.
“ Sebulan dua bulan, bapak yang semula hanya kenal Ratna dari wajah cantiknya saja, mulai mengerti bahwa Ratna tidak cukup pendiam. Dia lumayan cerewet dan konsumtif. Tapi perempuan , saya maklumi saja. Meski begitu, rumah tangga kita terhitung bahagia. Memasuki 7 bulan pernikahan Ratna hamil.  Disaat seperti itu kondisi keuangan mulai memburuk. Semua pegawai pabrik dirumahkan. Entah apa alasannya bapakpun tak tahu, yang pasti dalam seminggu itu bapak perjuangkan nasib bapak dan teman-teman, namun nihil. Akhirnya bapak kerja serabutan. Dari mulai kuli bangunan, nyangkul di sawah, pokoknya segala macam pekerjaan bapak lakoni untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak bapak yang ada dalam kandungan. Semakin hari seiring bertambah besar perutnya, emosinya pun ikut naik.  Dia bertambah cerewet. Ingin ini, ingin itu. Ya semuanya. Sampai jungkir balik bapak bekerja demi keluarga kecil bapak. Benar. Perjuangan itu telah bapak rasakan. Setelah anak pertama lahir, disusul anak kedua dan ketiga Ratna semakin konsumtif, ditambah mulai suka mengatur bapak. Dia mulai mencari bisnis yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Tak puas dengan uang belanja yang bapak berikan. Rumah tangga kami sering cekcok. Anak-anak tak terurus. Semuanya karena bapak tak punya uang yang cukup banyak untuk memenuhi semua keinginannya.  Anak-anakpun kurang kasih sayang kami berdua, karena kami terlalu sibuk mencari uang.”
“Ketika mereka besar. Tak satupun dari mereka yang jadi orang. Bapak tak berharap mereka jadi orang kaya. Minimal tak menyusahkan bapak. Tapi harapan itu percuma. Anak pertama bapak kini berada di rumah sakit rehabilitasi, dia terlibat kasus narkoba. Anak kedua bapak perempuan. Dia hamil di luar nikah ketika dia masih sekolah. Terpaksalah bapak nikahkan dia dengan laki-laki kurang ajar yang menghamilinya. Dia bercerai dengan suaminya dan sekarang hidup menjanda. Anak ketiga bapak, terlibat genk motor, dan kini mendekam di balik jeruji besi karena kasus pencurian motor. Huft! Tak ada yang bisa ku banggakan dari mereka, nak! Satu lagi, Sekarang aku dan Ratna tlah bercerai. Entah kemana dia sekarang. Bapakpun tak tahu.”  kakek tua  mendesah.
Tiba-tiba muncul bayangan bapak di pelupuk mata Doni. Apakah perasaan tiap orang tua sama? ‘Kalo aku masih mending lah, ga pernah nyampe punya kasus kaya gitu. Paling Cuma clubbing sama temen, minum, itupun tak banyak. Tak pernah sedikitpun ku sentuh narkoba! Tapi, tak satupun orang tuaku tahu perilakuku sekarang. Pastinya mereka kan marah kalo tahu aku begini. Tapi udah lah! Pusing mikirinnya.’
“Tak usah pusing nak!” 
Suara kakek tua itu menyadarkan lamunan Doni. Kenapa sepertinya kakek ini tahu yang dia pikirkan?
“Kau masih muda. Tak ada alasan bagimu untuk mengambil keputusan yang sama dengan bapak. Karena kau telah mendengar cerita bapak dari awal sampai akhir. Wanita cantik hanya kesemuan belaka. Cantiknya akan layu termakan zaman. Rasulullah telah bersabda : ‘Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau’. 
“Nikahilah wanita karena 4 hal tadi. Namun janganlah engkau pilih wanita karena hartanya saja, cantiknya saja, atau nasabnya saja. Tapi pilihlah wanita karena agamanya. Maka kau akan bahagia, nak. Dan sebelum kau pilih wanita yang baik agamanya. Perbaiki dulu hati dan agamamu! Orang yang baik hanya untuk orang-orang yang baik. Begitupun sebaliknya. Baik-baiklah jadi orang. Hidup ini Cuma sekali nak! Jangan kau sia-siakan. Jangan seperti  bapak. Hanya sesal saja. Tapi tak ada kata terlambat untuk taubat. Semoga Allah menolongmu nak!” Kakek tua mengakhiri ceritanya dengan menepuk pundak Doni dan menatap teduh mata Doni. Wajahnya teduh dan bertambah teduh.
Kini Doni hanya termenung dengan semua perkataan kakek tua itu. Semua pesona Sonya seolah hilang ditelan oleh kata-kata kakek tadi. Agama? Bagaimana dia bisa mendapatkan wanita beragama jika saat ini ia sendiri hanya punya agama KaTePe! Bagaimana dia bisa punya istri yang baik nantinya kalau sekarang saja kerjanya hanya nongkrong, clubbing dan mabuk-mabukan! Terbersit titik terang dalam hatinya. Entah dari mana, tapi seolah menyejukkan hatinya yang haus akan iman. Allah? Mungkin sudah lama nama itu tak pernah ada dalam pikir dan hatinya. OH! Bapak ibu… terbayang wajah mereka. Tak pernah sekalipun memberikan kabar terlebih dahulu pada orang tua. Selalu saja orang tuanya yang lebih dahulu menanyakan kabar Doni. Hidup? untuk apa sebenarnya?

“Allahu akbar, allahu akbar….”
Sayup terdengar suara pemuda sepelantaran Doni mengumandangkan adzan maghrib di dekat podium mushola kecil itu. Doni baru tersadar bahwa kakek tua itu sudah pergi meninggalkannya. ‘Aku terlalu lama melamun. Sampai kakek tua itu pergi pun aku tak sadar.’ 
Kata-kata kakek itu kini selalu terngiang di telinga Doni. Ia tak lantas pergi meninggalkan mushola. Ia kembali beranjak ke tempat wudhu. Kini ia benar-benar berusaha semaksimal mungkin mengingat semua aturan wudhu dan sholat. Ia kembali dengan air wudhu yang kini menghiasi wajahnya. Jamaah di mushola ini sangat banyak untuk ukuran mushola. Sampai di teras dan halamannya pun di gelar tenda dan sajadah untuk para jamaah yang tak mendapatkan tempat kosong lagi di dalam. 
“Assalamu’alaikum warohmatullah….”
“Assalamu’alaikum warohmatullah….” Lirih Doni mengakhiri sholatnya dengan salam. Doni mengikuti Dzikir yang di pimpin oleh imam sholat. Seorang bapak-bapak membagikan buku Yasin.
“Pak, ada orang yang meninggal ya?” bisik Doni pada seorang Bapak yang duduk persis di samping kanannya.
“Iya, mas. Sudah seminggu beliau meninggal. Rumahnya selalu ramai dengan orang yang ingin melayatnya. Meski hanya tetangganya yang ada di rumahnya, dan jasadnya sudah dikebumikan, tapi tetap ada saja yang melayatnya. Kalau mas pengen tau orangnya yang mana, lihat saja di buku yasin itu. ada fotonya.” Terang bapak yang mengaku sebagai teman kecil almarhum.
Senandung Yasin mulai terlantun dari bibir-bibir jamaah. Sedang Doni membuka lembaran Yasin satu demi satu. Matanya terbelalak ketika melihat di lembaran kedua terpampang foto kakek tua yang ngobrol bersamanya tadi. Dia mengucek matanya. Tak percaya dengan yang dilihatnya. Angin dingin kini berhembus di sekujur tubuhnya. ‘Pasti ini mimpi! Atau tadi aku mimpi!’ 
Tiba-tiba Doni yang duduk di sudut mushola belakang ingin menoleh ke pintu. Pandangannya tertuju pada sesosok kakek tua berbaju putih berdiri di dekat pintu mushola. Tersenyum teduh. Bahkan lebih teduh dibandingkan sebelumnya. Ia tersenyum dan mengangguk pada Doni. Apa artinya ia mengiyakan semua ini? Berkata bahwa ini bukan mimpi?
Gemuruh yasin terus menggema di setiap sudut mushola. Menghantarkan doa untuk arwah sang kakek tua. Doni yang tertinggal jauh membacanya, dan entah dia masih bisa membacanya atau tidak. Kini hanya tertunduk. Termenung dan terngiang semua kata-kata kakek tua tadi. ‘Iya, pak. Insyaallah aku kan perbaiki diriku.’
Bayang-bayang Sonya tak lagi ganggu tidur dan alam khayalnya. Pesona Sonya layu seketika saat Doni tahu bahwa cantik bukan dilihat dari mata. Tapi mata hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;