Kamis, 24 Februari 2011

Jaga hatimu...


Senyap. Kurasakan angin berhembus dingin malam ini. Malam terakhirku di Jogja. Mama menginginkanku kuliah di Semarang. Alasannya, agar mama bisa mengawasiku sepenuhnya. Ya sudah, tak baik melawan orang tua. Mumpung ku masih punya umur, ku harus menuruti keinginan beliau. Bersyukur jadwal ujianku sudah selesai. Ku pun sudah mengurus administrasi kepindahanku. Hanya tinggal menunggu nilai saja.
Ku tatap wajah Naya yang tertidur pulas di sampingku. Ku tatap seisi kamarku dan ku berbisik pada dinding kamarku “Ku akan merindukanmu. Kau yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku.” Kupikir ku seperti orang gila saat ini, berbicara sendiri di tengah kesunyian malam. Hanya suara angin malam yang temaniku mengepak semua barang yang akan ku bawa besok pagi. Malam pun semakin larut, dan aku mulai mengantuk, namun ku tak tahu mengapa mata ini tak mau juga tuk mengatup, memejamkan dirinya meski hanya sejenak. Ayolah mataku….! Aku ingin tidur.
Saat mata-mata lain terlelap, ku masih terjaga dengan semua kebisuanku. Dengan semua pikiranku. Akupun teringat akan sms yang kuterima sore tadi.
“Mengapa tak beritahuku kalau kau mau pindah ke Semarang?”
Dari nomor tak dikenal. Kupun bertanya-tanya dalam hati, dari siapa sms ini?
“Maaf, ini siapa ya?”
Selang beberapa detik handphone ku bergetar.
“Ini Arya. Kau belum menjawab pertanyaanku La….”
Arya. Nama itu kembali mengisi otakku saat ini. Nama yang sudah mulai kusingkirkan dari memory otakku, nama yang tak boleh lagi hadir dalam hidupku. Nama yang pernah mengisi rongga hatiku. Dan kuputuskan untuk tak berkomunikasi lagi dengannya karena tak baik untuk kita berdua. Kini nama itu hadir lagi, ketika ku ingin mengubur nya dalam-dalam.
Hatiku bergetar. Rasa ini hadir lagi. Kerinduan akan sosoknya yang tenang, sosoknya yang mampu menghipnotisku dalam ruang kenanganku bersamanya. Semuanya masih segar dalam ingatku, awal kita bertemu sampai dia katakan semua tak boleh dilanjutkan.

Astaghfirullah! lirihku beristighfar.
 “Tidak! Ini tak boleh!  Ku sudah ingin melupakannya. Kamu harus mampu La!”
Tak ku balas smsnya.
***
Pagi menjelang. Ku telah memesan travel yang akan mengantarkanku ke Semarang jam 10.00 nanti. Dengan kantung mata yang tergurat jelas di wajahku karena tak tidur malam tadi, ku sempatkan berpamitan dengan teman-temanku di kampus. Tanpa Naya ku berjalan sendiri menyusuri lorong-lorong kampus. Entah kemana perginya. Hanya beberapa teman satu jurusan saja yang kutemui dan 3 orang teman satu organisasi yang akan mengadakan rapat di base camp tempat kami biasa berkumpul. “Hati-hati Nela….semoga Allah melindungimu disana.” ucap mereka serentak.”Begitupun kalian.” Lirih ku balas doa mereka.
Ku singkapkan sedikit lengan bajuku dan kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Masih pukul 09.00. Ku masih punya waktu 1 jam. Ku lanjutkan langkahku menuju masjid. Tiba-tiba seseorang memejamkan mataku dari belakang.
“Coba tebak siapa?” suara yang tak asing lagi bagiku.
“Naya!dari mana aja sih? Ku keliling kampus sendirian dari tadi, tahu! ” Tanyaku sedikit kesal.
Perlahan Naya melepaskan  tangannya.
“Iya La, maaf, ku tadi cuma, cuma……..” jawab Naya terbata-bata. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naya dariku.
“Cuma apa, Nay?” tanyaku penasaran.
Naya hanya nyengir.  Ku hanya tersenyum kecut dan meninggalkan Naya.
“Eh ,kamu mau kemana La? Bukannya kamu harus berangkat sekarang?” ucap Naya dengan sedikit berlari mengejarku.
“Mau ke masjid dulu, nanti sekitar jam sepuluhan ku berangkat. Ku udah pesen travel yang ada di belakang gedung itu.” Sambil menunjuk ke arah gedung yang aku maksud.
“Oh…” sahut Naya datar.
“La , aku ada perlu sebentar ya.” Naya berlari kecil meninggalkanku.
“Kamu nggak mau nganter aku , Nay?” Ku berteriak.
“Aku menyusul….” Suaranya sudah hampir tak terdengar.
Aku melanjutkan langkahku ke masjid. Tak ada seorangpun disana. Hanya aku. Kuambil air wudlu dan kulaksanakan shalat dhuha. Doa kupanjatkan kepada Sang Pemberi Hidup, Allah SWT.
“Ya Rabb,,,,syukur atas nikmatMu…mungkin semuanya memang telah kau atur sedemikian rupa. Sampai akhirnya ku harus meninggalkan kota Jogja ini. Dan kembali ke Semarang kota kelahiranku. Terima kasih telah memberiku orang-orang yang sangat baik di kota ini. Dan terima kasih tlah mengenalkanku pada sosoknya. Arya. Karenanya ku banyak belajar apa arti sebuah cinta kepadaMu, meski singkat perkenalan kita namun semua perkataannya tlah membawaku mengenal-Mu. Maafkanku ya Rabb, diam-diam ku tlah mencintainya dan menduakan-Mu. Namun ku tak ingin ia terjerumus dalam perangkapku. Dan ku tak mau jadi cobaan baginya. Meski hati ini memiliki harap, ku ingin bertemu untuk terakhir kalinya.” Ku menangis tergugu di sudut masjid yang hanya remang dengan cahaya lampu samar.
Ku bergegas ke kost-kostan dan mengambil semua barang sudah ku pak tadi malam. Jam sudah menunjukan pukul 09.35. Ku berharap Naya datang, namun 5 menit kutunggu tetap tak ada. ‘Ya sudahlah, mungkin dia sedang ada urusan yang tak bisa ditinggalkan’ gumamku dalam hati.
Pukul 09.50 ku sampai di tempatku memesan travel. Namun belum kulihat travel pesananku datang.
“Mas, kalau travel yang jam 10.00 sudah ada belum ya?” tanyaku pada petugas travel.
“Oh maaf mba, sepertinya keberangkatannya ditunda sampai jam 11.00” ucap petugas travel ramah.
“Oh, gitu ya Mas, terima kasih.”
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Ku putuskan untuk membeli sebotol minuman segar dan sedikit cemilan. Setelah kudapatkan, ku lalu melihat ada bangku panjang masih kosong di depan loket  pembelian tiket. Ku duduk dan meneguk sebotol minuman segar yang tadi ku beli, Alhamdulillah rasa hausku terobati. Kulayangkan pandanganku ke segala arah. Kutangkap 2 sosok yang ku kenal. Naya dan Arya. Mereka berlari mendekatiku dengan nafas ngos-ngosan.
“Syukurlah, kamu belum berangkat.huft….” ucap Naya dengan nafas tersengal. Kelihatannya mereka berdua berlari dari kampus kesini.
Kutarik tangan Naya dan berbisik padanya.”Ngapain kamu bawa Arya kesini!”
Seperti biasa Naya hanya nyengir.
“Mengapa kau tak pamit padaku, La?” ucap Arya masih dengan nafas yang belum teratur.
“Untuk apa?” jawabku datar.
Ya Allah, kau kabulkan doaku, tapi mengapa hatiku malah bertambah sakit ketika ia datang.
“La! Kamu nggak lihat! Dia udah capek-capek kesini hanya untuk mengucap salam perpisahan padamu. Kau nanya untuk apa? Tega kamu La! Dan kau tahu? sebenarnya sekarang dia ada Ujian La…tapi dia bela-belain kesini Cuma buat kamu,La!” Naya angkat bicara.
“Kamu yang udah ngasih tau dia kan, Nay?” tanyaku datar menatap tajam pada Naya.
“em….aku….aku…..” Naya tergagap. Ia tahu ku marah besar padanya.
“Naya nggak salah,La! Aku yang memaksanya memberitahuku kapan kau berangkat.” Timpal Arya.
Semua terdiam. Hening sesaat.
“Boleh kami berbicara berdua, Naya..?” pinta Arya. Naya mengangguk dan pergi menjauh dari kami.
Ku sedikit tenang. Akhirnya ku dan Arya duduk berdampingan sekarang. Kami hanya berjarak 1 meter sekarang. Untuk beberapa saat kami berdua sama-sama diam.
“Kenapa kau datang lagi, Arya?” tanyaku datar.
“Sebenci itukah kau kepadaku, La?  Sampai tak mau melihatku lagi?” Tanya Arya sedikit memaksa.
“Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk tak berkomunikasi denganmu? Kaupun selalu diam padaku. Ya sudah, ku nggak ingin lagi jadi pengganggu dalam hidupmu. Kalau pun ku ngomong  sama kamu kalau ku akan pergi, apa pedulimu?” Ku setengah membentak Arya.
Arya menghela nafas. Dia ingat. Memang dialah yang meminta kita untuk saling menjauh.
“Yaa…tapi bukan berarti kabar sepenting ini kau tak mau memberitahuku, La!” Ucap Arya tenang.
Hatiku basah. Basah oleh perkataannya yang mengatakan bahwa dia masih menganggapku penting dalam hidupnya. Perlahan rasa itu muncul lagi. Mengusik kenangan yang telah terpendam. Dan dengan segera kusingkirkan.
‘Arya. Terima kasih tlah memperdulikan aku, tapi tahukah kau. Kau telah menyakitiku. Mengusik kembali hati yang telah tenang.’ Gumamku dalam hati, namun bibir ini seakan tak berani tuk mengungkapkan semuanya.
Aku ingat beberapa minggu yang lalu ku pernah mengirim sms kepadanya meminta pendapat. Dan jawabannya ‘Ngapain kamu nanya itu ke saya?’ setelah saat itu, ku berkeyakinan tak kan lagi mengirim sms padanya. Dan sekarang dia muncul di hadapanku. Kelemahanku, ku masih belum bisa melupakannya. Ku masih berharap padanya. Dan dia memberi harapan itu saat ini. Salahkah aku ya Allah? Aku terjatuh lagi dalam lubang ini.
Aku menunduk. Mataku basah. Dan tiba-tiba tangisku meledak di depan Arya.
“La……kamu kenapa?” Tanya Arya bingung.
“Kenapa kau datang lagi disaat ku sudah ingin melupakanmu, Ar! Ku jadi berharap lagi! Kau yang buatku begini!” tangisku bertambah keras.
Orang-orang menatapku dan Arya penuh tanya. Naya yang menatap kami dari kejauhan khawatir melihat kami, namun Arya memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.
Arya masih diposisinya tanpa menyentuhku sedikitpun. Dia mengulurkan sapu tangan kepadaku dan berkata ,
“Maaf,La. Entahlah, aku pun tak tahu bagaimana ku menahan perasaanku. Ku tak tahu. Akupun tak ingin kau terlalu berharap padaku. Waktu kau mengirim sms padaku, 2 minggu yang lalu. Ku bingung mau membalas atau tidak. Dan kuputuskan untuk membalas dengan kata-kata yang mungkin terdengar kurang enak. Ku hanya berharap kau bisa berhenti sms padaku dan cepat melupakanku. Sesungguhnya akupun dengan perasaan sakit mengetik kata-kata itu. Kau tahu siapa aku. Bagaimana sifatku. Dan ku juga melihat siapa kamu,La. Kita harus sama-sama menjaga. Meski benar-benar sulit. Dan ternyata kita sama-sama sakit. Maafkan aku, La.” Ucap Arya menyesal.
“Ini.” Arya meletakan sebuah tasbih kecil di tanganku.
“Tolong kau pakai itu. Pelihara ia dan jangan sampai hilang. Itu benda kesayanganku.” Dengan berat hati ia memberikannya padaku.
Aku mulai tenang, hanya sisa-sisa air mata yang tergambar jelas dipipiku perlahan kuusap dengan sapu tangan miliknya. Kami tak saling tatap. Kami terdiam beberapa saat lamanya. Ku lihat jam tangan tlah menunjukkan pukul 10.50.
“10 menit lagi, Ar. Ku berangkat.” Ucapku dengan suara seperti orang flu.
“Tapi kau memaafkanku kan,La?” Arya mengiba.
Ku mengangguk kecil. Perlahan kulepas gantungan bentuk Kristal yang menggantung di Hp ku.
“Mana tanganmu? Kuhanya bisa memberikan ini untukmu.” Kuletakkan di tangannya yang telah menengadah.
“Aku berangkat.” Ucapku lirih.
“Nelaaaaa…..…” Naya datang memelukku.
“Dari mana aja kamu?” tanyaku sedikit kesal. Lagi-lagi ia baru muncul dan seperti biasa jawabannya hanya nyengir.
“Udah donk, jangan nangis wae…..ku tahu kamu akan kangen sama aku.” Gurau Naya.
Naya paling bisa membuatku tersenyum.
“Kang Arya adakah pesan untuk Nenk Nela?” ledek Naya pada Arya.
“hih…apaan sih Nay?” kucubit perut Naya.
Arya tersenyum. Itu pertama dan terakhir kalinya ku lihat ia tersenyum padaku. Biasanya dia hanya diam dan tersenyum dingin, senyum keterpaksaan, namun saat ini senyumnya terlihat tulus. Meski langsung ku alihkan pandanganku darinya. Huft…
“Jaga hatimu, La.”
Itu pesan terakhirnya. Akupun pergi dengan semburat luka. Entah seperti apa hubunganku dengan Arya. Yang jelas dia masih ada dalam pikiran dan jiwaku. Ku tak tahu apakah nanti ku bisa melupakannya atau tidak. Permintaannya yang dulu begitu terngiang di telingaku. Itu memang yang seharusnya kita lakukan, tak berkomunikasi. Meski terkadang hati ini ingin berkata aku rindu, tapi sudut lain hatiku mengatakan “Jangan kau bermain dengan hatimu, Allah dan suamimu kelak yang pantas kamu cintai. Bukan dia.” Perlahan aku berdoa “Ya Allah, ampuni aku dengan hatiku ini. Hanya Engkau yang Maha Tahu akan takdirku.  Jangan biarkan cintaku padanya melebihi cintaku padaMu. Sadarkanku dari mimpi ini. Lupakan aku akan dia. Ku hanya berharap pada-Mu.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;