Rabu, 23 Februari 2011

Ketika Cinta Berbalas

Ku duduk sendiri di kamar sambil membaca Modul Rekayasa Perangkat Lunak yang akan diujikan besok siang. Beginilah menjadi mahasiswa  Informatika , berkutat dengan modul, computer dan dosen yang kadang membosankan.
Tiba-tiba hpku bergetar. Ada sms masuk.
Boleh saya berbicara denganmu,na?kali ini benar ada sesuatu yang penting yang harus kusampaikan padamu. Setelah itu terserah kamu.
Deg. Hatiku berdegup kencang. Faris, ikhwan seangkatanku mengirim sms itu untukku.
Iya, boleh. Kapan?
Ku balas sms ikhwan yang berpostur tubuh tinggi kecil  itu. Entah mengapa jariku tiba-tiba mengetik seperti itu. Aku tahu  kalau perbuatanku ini keliru. Ku tak boleh berbicara dengannya, namun selalu saja ku masih menuruti nafsuku untuk tetap memenuhi permintaannya. Sejak pertama ku mengenalnya ku tlah bersahabat dengannya, meski hanya sedikit bertegur sapa. Lambat laun rasa lain menyusup diam-diam ke dalam hatiku, entah apa. Ku tak tahu, namun setelah ku telaah jiwaku dalam-dalam, ternyata ku sadar dia tlah mencuri sedikit bagian dari hatiku. Ada rasa berkecamuk dalam hatiku, antara perasaanku dan sebuah kebenaran peraturan Allah yang melarang wanita untuk berkhalwat dengan bukan mahramnya. Perasaanku yang tak mampu kupungkiri bahwa ku mungkin telah jatuh hati pada ikhwan ini, ikhwan tampan  yang soleh dalam pandanganku,yang kuingin dia jadi pendampingku nanti dan ikhwan yang selalu membuat wajahku merah ketika melihatnya. Walau seringkali sikap dingin dan acuhnya selalu ia tunjukkan padaku karena mungkin dia tak pernah mau tuk bergaul berlebihan dengan akhwat.
Hp ku bergetar lagi. Faris membalas smsku.
jam 8 nanti. Kutelpon kamu.
Tak dapat ku pungkiri bahwa hatiku sedang berbunga-bunga saat ini. Lagi-lagi aku kalah dengan nafsuku. Aku membalas smsnya dengan satu kata
Ya”.
Pukul  20.00 tepat Hp ku bergetar. Cukup lama. Aku masih bingung akankah kuangkat? Tapi kalo tidak  kuangkat ku sudah janji kepadanya. Hatiku terus merasa semua ini sebuah kesalahan, namun aku tak mampu pungkiri bahwa ku juga sama layaknya cewek yang lainnya. Aku belum bisa layaknya akhwat-akhwat berkerudung lebar lainnya yang sangat menjaga pandangan mereka, yang sangat menjaga komunikasi dengan ikhwan. Aku benar-benar malu dengan teman-temanku , dengan jilbabku, dan terutama kepada Engkau ya Rabb. Maafkan aku.
Perlahan kuraih handphone di mejaku,
Assalamu’alaikum.”
Jantungku semakin kencang berdetak. Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari tangan dan keningku. Itu memang suara Faris. Terdengar berat dan begitu berwibawa.
“Wa’alaikumussalam wr wb. Ada pa Ris?”Ku mencoba sebiasa mungkin menjawab salamnya, meski jujur hatiku deg-degan tak karuan.
“Hm……ku bingung memulainya dari mana.” Terdengar dia sedikit  gugup.
“Sudah nggak  marah kan dengan kejadian tadi?”
Ya. Ku baru ingat, siang tadi ku sempat kesal dibuatnya.
***
Siang itu, setelah ku penuhi agendaku, ternyata ku masih punya waktu untuk bertemu dengan Faris. Dia memintaku bertemu pagi tadi namun ku tak bisa. Ada hal penting yang mau dia sampaikan.
Sekitar pukul 11.00 ku mengirim sms kepadanya.
Kamu dimana? Ku sudah selesai. Ku akan menemuimu.
Dia hanya membalas :
Ku di depan perpustakaan. Nggak usah kesini, nggak jadi...
Ku langsung bergegas ke perpustakaan. Dan benar dia sedang duduk sendirian di bangku depan perpustakaan. Tanpa basa basi ku langsung bertanya padanya .
“Tadi kau mau menyampaikan apa?” ku bertanya dengan suara sedikit ngos-ngosan karena ku sedikit berlari.
“Aku bilang tidak usah kan tadi? ya nggak jadi….” Timpal Faris tanpa memandang wajahku sedikitpun.
Aku terdiam. Rasa kesal menyelimutiku saat itu. Tak bicara sedikitpun, ku langsung masuk ke perpustakaan dengan wajah merah padam. Ku mengeluarkan modul RPL untuk ku pelajari. Namun tetap saja tak mau masuk ke otakku. Ku bolak balik modul itu tetap saja hanya Faris yang ada di pikiranku.
10 menit berlalu, ku masih terduduk dengan rasa kesalku. Tiba-tiba Faris ada di belakangku.
“Apa kau bawa modul RPL? Boleh ku pinjam?”
Tak sedikitpun ku arahkan wajahku padanya.
“Sedang dipake.” Ku jawab dengan nada datar.
“Bukannya ada beberapa modul ya? Boleh ku pinjam salah satunya? “.
Memang benar modul RPL ada beberapa bab terpisah. Tak ada alasan lagi ku tak meminjamkan padanya.
“Nih….” Ku sodorkan lembaran modul RPL Bab I kepadanya tanpa memalingkan wajahku padanya.
“Makasih”.
Dia lalu duduk tak jauh dari ku. Ku membaca modul RPL Bab II namun pikiranku tak mampu untuk fokus. Tetap saja hati ini kesal bercampur deg-degan karena Faris berada satu ruang denganku. Kulihat dia pun sama. Hanya membolak balik modul tanpa jelas mau membaca yang mana.
Tiba-tiba dia tutup modulnya dan berjalan melewatiku,
“Sudah, jangan ngambek lagi!”, sambil menepukkan kertas modulku yang dipinjamnya ke punggungku.
“Kupinjam dulu modulnya.” Dia berlalu begitu saja meninggalkan perpustakaan.
***
 “Na….?masih marah nggak?” suara Faris membuyarkan lamunanku tentangnya siang tadi.
“Yang penting jangan begitu lagi! tiap kali mau ngomong pasti nggak jadi. Bikin orang penasaran aja. Memang sebenernya mau ngomong apa? Tinggal ngomong apa susahnya si!” Ku masih sedikit kesal.
“Hm….begini….”. Faris mulai bicara.
 “Ku mulai tak ikhlas denganmu Na. Ku mulai berat kepadamu. Aku aku sayang sama kamu Na”.
Ya Allah, ku tak tahu bagaimana perasaanku sendiri saat ini? Harusnya ku bahagia. Bukankah selama ini ucapan itu yang ku tunggu-tunggu? Namun mengapa hati ini menjadi beku. Ketika cintaku berbalas, lalu apa? Haruskah ku bahagia? ataukah sedih mendengar semua itu? entahlah. perasaanku kini seperti es campur. Campur aduk tak karuan.
“Ku tahu ini tak baik untukku maupun untuk dirimu.“
Aku masih diam. 
“Na, tahukah kamu mengapa ku terkadang menjauh darimu?cuek dan dingin kepadamu? Itu semata-mata hanya karena ku ingin menjaga mu dari fitnah. Dan ku meminta maaf padamu jika ku sering mengajakmu berduaan hanya dengan alasan berdiskusi , berbagi ilmu lah, sharing , ato meminta pendapat. Maafkan aku karena ku belum mampu benar-benar menjadi ikhwan yang menjagamu dari fitnah. Dan akupun tahu bahwa kau tak mungkin menjadi ….menjadi istriku”
Entah mengapa mata ini mulai memerah. Hanya memerah.
“Mengapa ku tak mungkin menjadi istrimu? Ku tahu ku tak pantas untukmu Ris,”. Perkataan itu terucap sangat lancar dari bibirku dengan nada berharap.
 “Astaghfirullah....mengapa kau berpikir seperti itu?”. Faris terlihat tak mau membuatku kecewa.
Kami berdua terdiam sejenak. Terhanyut dengan pemikiran kami masing-masing.
 “Kalo dibilang berharap. Em..... ku juga pengen kalo kamu jadi istriku, tapi itu tak mungkin
 “Kenapa tak mungkin?” tanyaku penasaran.
Ku memiliki janji kepada diriku sendiri bahwa ku tak akan menikah sebelum memberangkatkan kedua orang tuaku haji. 6 tahun kemungkinan waktu sampai ku mampu menghajikan keduanya Na. Apa kau sanggup tuk menungguku selama itu?”
Ku terdiam sesaat, tak tahu apa yang harus kukatakan kepada Faris.
Ris....jika itu sudah menjadi nadzarmu, ku tak bisa memaksa. Ucapku terbata-bata.
Ku tahu Na....ini sulit bagimu. Karena itu aku tak mau memberimu harapan kosong.”
 “Hanya satu yang ingin ku minta darimu sekarang Na.” Suaranya kian parau.
Terdengar suaranya lirih beristighfar.
Kita jangan pernah berkomunikasi lagi ya, baik itu langsung ataupun lewat handphone. Bantu aku tuk menjauh darimu. Itu keputusanku, Na. Kurasa ini yang terbaik untuk kita sekarang. Bisakah kau membantuku?
Hatiku terasa sesak, terhimpit oleh semua kata-kata yang Faris ucapkan tadi. Ku masih belum yakin apakah ku mampu untuk tak berkomunikasi dengannya. Entah setan mana yang sedang merasuk dalam tubuh dan pikiranku. Ku tak mampu terima semua ini. Ku ingin tetap saja seperti ini.
Aku…nggak tahu, Ris.
Ku masih ingat semua yang kau katakan padaku. Ku masih ingat semua kebaikanmu kepadaku. Kau yang selalu memberiku banyak ilmu, walau terkadang kau keras tapi kau mampu meyakinkanku. Kau ajarkanku arti tujuan hidup, kau menuntunku tuk berdiri di sepertiga malam terakhir-Nya walau mungkin ku sedikit takut berbelok niat. Kau menjagaku dengan semua sikapmu yang terkadang angkuh kepadaku.” Suaraku mulai parau.
Udah jangan nangis”. Faris berusaha menahan air mata jatuh ke pipiku.
Siapa yang nangis...” ku berusaha menutupi suaraku yang semakin parau dan mataku yang sudah mulai basah.
Perlahan Faris beristighfar.
 “Na, tak ada yang bisa kuberikan padamu, karena akupun mengharap pemberian dari yang lain. Tak ada yang bisa kujanjikan padamu karena akupun mengharap janji dari yang lain. Tak ada yang dapat kulakukan untukmu, karena akupun mengharap pertolongan dari yang lain. Mau taukah kau siapa yg kuharapkan? dia adalah  'ALLAH SWT ', maka cukuplah mengharap padaNya.,”
 “Na, inget akan semua janji Allah. Berharaplah hanya kepada-Nya maka kau takkan pernah kecewa. Jangan kau berharap kepada manusia seperti aku ini. Na, ku tutup sekarang ya?” pinta Faris.
“ya Ris....” ku mengiyakan.
“Assalamu’alaikum”, Faris menutupnya dengan salam.
“Wa’alaikumussalam wr wb”.
Tek....seketika suaranya tak terdengar lagi. Tiba – tiba air mataku sudah tak mampu lagi bersembunyi di balik  kornea mataku. Aku lunglai menangis sejadi-jadinya. Di satu sisi aku bersyukur bahwa Allah masih menyayangiku dengan memberiku teguran ini, namun di sisi lain, ku masih belum mampu memutuskan komunikasi dengannya dan menghapusnya dari ingatanku. Ya Allah, kuatkan aku. Aku pasti mampu karena Engkau ya Allah.
Perlahan ku berbisik “Terima kasih ya Allah, kau telah mengenalkanku pada sosoknya, sosok Farisn yang ternyata ia sungguh mencintai-Mu dengan sebenar-benarnya. Dia mengambil semua keputusan itu karena-Mu. Ku hanya bisa berdoa, jika memang kita tidak berjodoh. Ku mohon ya Allah, berikan ia bidadari cantik nan solehah untuk menempati posisi istri di kehidupannya kelak, meskipun itu bukanlah aku”.

2 komentar:

rumah putih mengatakan...

pernah baca :)

Siti Afifah mengatakan...

hahaha...iyaaa san...
jadi cerminan...

Posting Komentar

 
;