Embun masih basah, menetes di kaca transjakarta. Mendung menyelimuti Jakarta, tapi tak hujan. Sepi, hanya aku yang naik transjakarta yang disebut juga busway ini. Tak lama ku transit menuju harmony. Ku duduk di dekat seorang pemuda. Pemuda dengan setelan nyantren . Tampan tidaknya … entahlah, tak kuperhatikan. Ku hanya duduk dan sesekali beringsut jika kepalanya mulai menunduk karena mengantuk.
10 menit akhirnya ku sampai dii harmony. Mataku menyelidik, mencari sahabatku. Kami janjian pukul 6. Akhirnya ku temukan. Dia datang dari Pal Putih, spontan kita berpelukan setelah sekitar 3 bulan tak berjumpa, rindu juga rasanya. Lanjut kita naik busway dan turun di gambir. Tak sampai 5 menit kita sampai di tujuan. Monas.
Butiran air halus mulai basahi jilbab kami. Hujan turun tak begitu rapat. Orang mulai berdatangan, subhanallah… Monas pagi ini di banjiri oleh banyak orang. Seperti lautan manusia. Mataku tertuju pada satu bus yang berlalu di hadapanku. Bus itu bertuliskan Rohis SMA N 3 Kediri. Wah…..mereka datang dari jauh. Berbondong-bondong turun dan siap memenuhi halaman monas. Aku dengan setelah kerudung dan rok merah bata terasa mencolok diantara mereka yang mengenakan putih-putih. Entahlah orang-orang ingin memakai seragam putih-putih mungkin. Cuek saja ku masuk bersama sahabatku yang berpakaian bebas juga. Tas dan badan kami di periksa oleh pihak keamanan, dipisah antara ikhwan dan akhwat. Mungkin takut kita membawa bom atau senjata yang mungkin bisa membahayakan presiden kita. Oh ya….presiden datang dalam acara di Monas ini loh…
Alhamdulillah akhirnya ku masuk dan bisa mengikuti acara MAULID NABI BESAR MUHAMMAD SAW di Monas. Di sepanjang jalan setiap jarak 5 meter menuju ke depan panggung akbar kita di sambut oleh para akhwat bercadar. Hitam-hitam. Seperti laskar keamanan di Mekkah pikirku. Mereka berbaris rapih dan mengatur barisan akhwat.
Allah mengaruniakan langit mendung hari ini. Halus titik-titik hujan turun membasahi rumput yang terinjak oleh kaki-kaki kami. Tak terhitung. Apalagi hujan! orang yang datang dari berbagai daerah berkumpul di Monas yang luas ini pun tak terhitung olehku. Pandanganku menembus setiap sudut monas. Yang kutemukan hanya lautan manusia. Subhanallah… di zaman yang sudah hancur ini Allah masih membuka hati-hati mereka tuk mengikuti acara ini. Di tengah pergumulan manusia yang sibuk akan dunia, Allah masih mau tuk menuntun kaki mereka ke tempat yang insyaallah beribu malaikat hadir menyaksikannya.
Gemuruh sholawat beralun di panggung akbar yang terletak di jantung monas. Bunyi bedug dan rebana menggaung ke setiap sudut kota. Kita bersholawat bersama.
“Ya Nabi salaam ‘alaika ya rosul salam ‘alaika…..”
Allahuakbar…hati ini berdesir melantunkan sholawat. Semoga menjadi tanda cinta kita kepada sang Nabi SAW. Langit redup dengan awan kelabunya. Terik matahari yang biasa bertengger di langit sana sembunyi, menuruti titah Sang Maha Pencipta. Allah mengijabah doa hambaNya, agar khusyu dalam dzikir bersama dengan langit sebagai atap dan bumi sebagai hamparannya.
Habib naik ke atas panggung. Ku dengar beberapa hari beliau koma. Dan tak mampu menyuarakan dakwah nya, namun hari ini beliau hadir di acara akbar ini, semoga kemuliaan menaungi beliau sebagai ulama-ulama pengikut jejak nabi kita Muhammad SAW,.amin
Suaranya berat. Beliau mulai berucap.
“Allah memberikan terik yang sangat ketika maulud tahun lalu. Namun kini Allah berikan mendung bagi kita. Allah mengijabahi doa kita. ”
“Semoga Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita nabi Muhammad SAW. Allah memilih kita untuk hadir di majelis dzikir terbesar di dunia ini. Di negeri yang mayoritas muslim penduduknya. Dan diliput oleh stasiun terkenal di dunia. Kita tak hanya disaksikan oleh penduduk di seluruh penjuru Indonesia namun seluruh penjuru dunia serta beribu malaikatNya berdoa untuk kita.. Semoga Allah merahmati kita semua..aminn… ”
“Rasulullah SAW lahir hari senin tanggal 12 Rabiul Awal, dan peristiwa penting di sejarah islam banyak yang terjadi di tanggal tersebut. Hari ini selasa 12 Rabiul Awal 1423 H kita berkumpul di sini. Di Monas yang luas ini. Semoga Allah senantiasa memberikan berkah atas kehadiran kita disini.amin”
“Saudara muslim yang dirahmati oleh Allah… saya akan menceritakan sepenggal kisah detik-detik menjelang wafatnya Rasulullah SAW.“
“Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Utsman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.
“Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
" Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"
Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu.
“Itulah detik-detik menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Adakah diantara kita yang bisa mencintai beliau sebesar beliau mencintai kita?”
Perlahan pipiku basah. Terbayang dalam pikirku semua pengorabanan beliau dalam dakwah islamnya. Betapa mulianya beliau. Betapa cinta beliau tak pernah pupus sampai akhir hayatnya. Sedang kita sebagai umat yang beliau khawatirkan, asyik-asyik saja melakukan maksiat dimana-mana. Tak malukah?
Habib menyudahi kisahnya tadi dan mengajak jamaah tuk basah berdzikir padaNya.
“Jamaah yang dirahmati Allah…Marilah kita berdzikir. Merendahkan diri kita di hadapanNya. Kita yang selalu berbuat dosa, dan kering dengan asmaNya. Allah berikan janjiNya untuk kemakmuran negeri muslim ini, negeri kita tercinta Indonesia.,insyaallah hari itu akan segera tiba. Memohon agar Allah menunjuki hidayahnya pada kita, mari kita sejenak tundukkan hati dan ucapkan di lisan kita, …asma Nya…ya Allah……ya Allah…….ya Allah……..ucapkan seribu kali…ya Allah…..”
Ku ikuti dengan segenap hati. Ku ucapkan dengan seluruh jiwa. Hati , pikiran dan jasadku kini menyebut asmaMu ya Allah….Allah menyiram hatiku yang kini tlah tandus…menyemai benih keimanan yang dulu pernah pupus. Menggenggam hatiku dengan sgala keagunganNya. Membuatku tenggelam dalam kecintaan menyebut asmaNya… membuatku sadar akan semua dosa. Segala alpha yang pernah ku perbuat….
Ya Allah……….ya Allah………
Gemuruh asmaMU menggema di jantung kota Jakarta. Terngiang di setiap telinga. Dan menyeruak di seluruh penjuru negeri Indonesia.
Allah…. ku ingin Engkau dan Rasulullah di hatiku.
0 komentar:
Posting Komentar