“Mbok Yao kamu potong rambutmu to,
Nang…..” Ucap Bu Suti , ibu kantin pesantren melirik pada Iwan.
Iwan hanya tersenyum sembari
memegang rambut gondrong kesayangannya. Tak terlalu gondrong seperti Ki Joko Bodho
memang. Hanya ikal dan sepundak panjangnya. Tak terlalu acak2an juga
sebenarnya, namun Bu Suti risih melihatnya.
“Ntar kamu dianggap preman loh…”
Lanjut Bu Suti sambil menyuguhkan bakso pesanan Iwan.
“Ya ndak papa to Bu… yang penting
kan hatinya….hehehe,” ujar Iwan sambil menuangkan sambal dan kecap ke dalam semangkuk
baksonya.
“Bukan begitu nang…
nanti santriwati kabur lagi liat rambut gondrongmu itu…kamu mau gondrong terus sampai nikah nanti?“ Bu Suti terus membujuk Iwan memotong rambut gondrongnya.
nanti santriwati kabur lagi liat rambut gondrongmu itu…kamu mau gondrong terus sampai nikah nanti?“ Bu Suti terus membujuk Iwan memotong rambut gondrongnya.
Hari itu sudah berlalu sejak Iwan
kuliah dan bekerja di Jakarta. Kata-kata Bu Suti selalu terngiang di telinganya
, mengingatkannya seketika pada masa pesantren di Jawa. namun tetap saja rambut
itu tak pernah mencium gunting salon sampai pendek. Pun Sekarang saat ia melamar
seorang gadis dari keluarga berada. Ia tetap teguh mempertahankan rambutnya.
Putri, nama gadis itu. Iwan mengenalnya dari seorang sahabat. Sudah cukup lama,
namun Iwan tak pernah berani tuk mengganggu kesucian hatinya. Sampai dirinya
merasa mampu tuk menjemput Putri menjadi istrinya.
Putri, gadis pintar, cantik dan
baik hati. Banyak pemuda di kampus yang menginginkannya menjadi pendamping,
namun malang tak ada satupun yang diterima.
Awal pertemuannya, Iwan sering ingin tertawa kalau mengingatnya. Putri
sangat kaget melihatnya seperti bertemu preman saja.
Waktu itu di halte Transjakarta.
“Hei Put….baru pulang?” Sapa Geri
pada Putri yang baru turun dari Bus.
“Astaghfirullah….” Wajahnya
berpaling pada Iwan setengah menunduk.
(wah sampai astaghfirullah segala!…
kaya ngeliat setan saja. Haha)
“Kenapa Put?Hm…jangan bilang
kalian tidak saling kenal! Kalian kan sekampus!”
Geri mengarahkan pandangannya
pada Iwan dan Putri bergantian.
Parah! Iwan dan Putri tak saling
kenal meski telah 7 semester berada dalam satu kampus.
“Maklumlah Ger…kita berbeda
jurusan dan sibuk masing-masing. ” ungkap Putri.
“O ya kenalkan, aku Putri…” Putri
menyodorkan tangan pada Iwan.
“Iwan” sambil melipat tangannya
ke dada.
“Oh Maaf.” Putri merasa tak enak.
Sudah jadi risiko orang berambut
gondrong dianggap preman. Tak aneh memang. Tapi hati orang siapa tau…(cieeee….)
gondrong gitu Iwan terhitung ikhwan juga loh…
Pertemuan kedua, di Serambi
Masjid Kampus mereka bertemu. Itupun hanya selewat, namun kali ini jantung Iwan berdebar kencang…”Apa ini?” katanya
dalam hati.
Iwan lalu bertanya pada Geri tentang Putri. Bagaimana Putri
sebenarnya…apakah ia gadis yang memenuhi criteria Iwan selama ini? Dari Geri, Iwan tau banyak tentang
Putri. Gadis Pintar , baik dan rajin sholatnya. Ya. Memenuhi criteria, hanya
belum berjilbab dan kurang sedikit pemahaman saja. “Ah…biarlah nanti aku yang akan
membimbingnya,” gumam Iwan dalam hati. Namun satu yang jadi tantangannya. Ia
keluarga berada sedangkan Iwan hanya Lulusan Pesantren yang kini bekerja
menjadi Admin biasa dan masih harus menyelesaikan S1 Teknik Informatikanya. “Haduh….hus
hus…mikir apa aku ini…” Iwan segera tepis pikiran-pikirannya yang terlalu jauh
tentang Putri.
Tentang Putri, diam-diam Putri
pun menaruh simpati pada Iwan. Hanya ia sedikit diam. Yang tahu hanya Yesi
sahabatnya yang tahun depan akan menikah dengan Geri. Geri telah menceritakan semua tentang Iwan
pada Yesi. Awal Putri ragu dengan rambut gondrong Iwan, namun setelah tahu
sikapnya yang santun dan cerita Yesi padanya. Putri tersenyum lebar. Gayung
bersambut. Geri mendorong Iwan untuk segera melamar Putri.
“Tapi bukan sekarang Ger! Aku
masih kuliah!” gertak Iwan pada Geri yang memintanya untuk segera melamar
Putri.
“Ayolah kawan! Tinggal satu semester lagi kan?”
Iwan meminta Geri tuk menyimpan
semuanya. Biarlah semua menjadi rahasia. Putri pun masih menunggu Iwan, meski
belum tahu perasaan Iwan sebenarnya. Biarlah mengalir. Iwan berkeyakinan ingin
menjemputnya setelah wisuda nanti. “Kalaupun nanti Putri tlah memilih yang
lain, ya sudahlah. Mungkin dia memang bukan jodohku.” Kata Iwan pasrah.
***
Wisuda akhirnya terlewati juga. Kali
ini Iwan benar-benar mengumpulkan keberaniannya. Gelar sudah ditangan , niat tlah
di tancapkan, tinggal aksi Wan!
Hari itu, seminggu setelah wisuda
Iwan datang sendiri ke rumah Putri, tanpa sepengetahuan Putri. Masih dengan
rambut gondrongnya ia beranikan diri melamar Putri pada ayahnya.
Bagai Petir menyambar, hati
tersayat, dan wajah malu tak tertahan, Ayah Putri menolak lamaran Iwan!
“Maaf nak Iwan. Terus terang saya
tidak setuju Putri saya menikah dengan Anda. ” Kata itu sopan tapi menyakitkan,
sungguh sangat dalam! Keluar dengan jelas dari bibir ayah Putri yang tinggi
kekar dengan suara yang menggelegar. Oh…malangnya nasibmu Wan…
“Tapi pak, bisakah Bapak
menjelaskan alasan Bapak menolak lamaran saya?” Iwan bertanya dengan wajah
tenang.
“Apa preman seperti Anda merasa pantas bersanding dengan putriku?”
tanya Ayah Putri menohok tenggorok Iwan.
Preman? Oh…lagi-lagi preman.
Mengapa setiap orang yang melihat rambut gondrong Iwan berkata dia preman? ‘Memangnya
yang rambutnya gondrong Cuma preman? Bapak nggak tahu ya, trend pesantren
angkatanku adalah rambut gondrong!’ Iwan bergumam dalam hati.
“Biarkan saya menjelaskan latar
belakang saya Pak. Saya akan buktikan kalau saya bukanlah preman.” Ucap Iwan
meyakinkan.
“Sudah-sudah, tak perlu Anda
banyak bicara untuk meyakinkan saya! Silahkan anda pergi dari sini.” Ucap Ayah Putri sambil menunjuk ke arah pintu .
Putri yang hanya mengintip dari
balik pintu hanya mampu meneteskan air mata, tak mampu berkata dan masuk ke
kamarnya. Sedangkan Iwan berlalu
dengan menelan semua perkataan ayah Putri bagaikan menelan kopi pahit tanpa sedikitpun gula atau krim susu didalamnya.
***
“Gimana wan?” Tanya Geri antusias ,
setelah melihat Iwan datang
dengan wajah tertunduk lesu.
Iwan hanya menggelengkan kepala.
“Ayahnya tak setuju, Ger!”
“Aku tak bisa apa-apa… restu orang tua adalah segalanya
bagiku.” Jawab Iwan pasrah.
“Kau tak berjuang sedikitpun
untuk meyakinkan Ayahnya,Wan?” Geri menatap Iwan tajam.
“Belum ku menjelaskan, beliau
sudah memintaku keluar,Ger.” jelas Iwan.
“Aku akan menemanimu kesana, wan!
Aku akan membantumu.” Geri ingin membantu Iwan memperjuangkan niat baiknya
meminang Putri.
Iwan menatap Geri , timbul satu
semangat lagi untuk berjuang mendapatkan restu orang tua Putri.
“Iya Ger…aku akan berjuang sekali
lagi!” ucap Iwan mantap.
“Aku akan memotong rambut
gondrongku ini Ger! Demi mendapat restu orang tuanya!”
Iwan bersemangat sekali, menggebu
lagi setelah melemah oleh tohokan Ayah Putri tadi. Ia rela memotong rambut
gondrong kesayangannya. Selama bertahun-tahun ia merawat rambut gondrongnya dan
sekarang demi mencapai setengah dien dengan gadis pujaannya ia harus rela berkorban
memotong rambutnya.
***
“Putri…. Buka pintunya nak! Kamu
belum makan sejak tadi” Ibu Putri membawa nampan berisi makanan untuk Putri
yang mengurung diri sejak penolakan
ayahnya terhadap Iwan.
Ibu Putri menarik napas dan
meletakan nampan berisi makanan di meja makan. Lalu beranjak duduk di dekat
Ayah Putri yang sedang menonton tv.
“Ayah ini… kenapa nggak nanya
dulu sama Putri? Sepertinya dia menyukai pemuda itu.” Lembut Ibu Putri berujar
pada suaminya.
“Ibu ndak liat penampilan pemuda
itu? Gondrong bu….kaya preman!” Timpal ayah Putri.
Jelas alasan ayah Putri menolak
Iwan tanpa basa basi. Suaranya terdengar sampai ke kamar Putri. Tak tahan mendengarnya Putri keluar menyatakan pembelaan.
“Iwan bukan preman ayah! Dia baik!
Percayalah pada Putri…yah…” Ucap
Putri keras pada ayahnya
sambil mengusap matanya yang bengkak akibat tangisannya selama 3 malam.
“Tau apa kamu Putri…kamu itu
masih polos!Ayah tahu laki-laki macam apa Iwan itu…” Ucap ayahnya tegas.
“Ayah, jahat…!!! Iwan tak seperti
yang ayah pikirkan!”
Putri berlari ke kamarnya. Menangis
sejadi-jadinya. Mata yang kini
bengkak, bertambah merah dan semakin membengkak saja. Reaksi ayahnya? Masih
tetap pada pendirian semula.
***
Hari itu terik menyengat kulit,
motor Geri melesat cepat menuju rumah Putri.
Iwan dan Geri memberanikan diri menemui orang tua Putri.
“Wan? Tanganmu gemetaran…” Geri
memegang tangan kanan Iwan yang sejak tadi hanya diam selama di perjalanan.
“Iya, Ger…aku gugup. Gugup
banget.” Jawab Iwan.
“Nih minum …duduklah dulu.”
Beberapa menit Iwan menenangkan
diri. Mereka duduk di bawah pohon rindang tak jauh dari rumah Putri, Cukup
berhasil membuat Iwan tak lagi gemetaran.
“Laa haulaa wala quwwata illa
billah wan!” Geri menatap mata Iwan berusaha meyakinkan.
Iwan menatap Geri dan melihat
sorot keyakinan pada temannya itu. Dan akhirnya setelah beberapa detik
mengumpulkan semangat dan keberaniannya, Iwan mengangguk mantap.
“Eh.,…temannya Putri ya… ayo silakan masuk” Ibu
Putri mempersilakan masuk Iwan dan Geri .
“Iya bu,…” jawab mereka serempak.
“Siapa bu?” suara menggelegar
terdengar dari ruang tengah. Suara itu semakin dekat dengan langkah kaki yang
cepat.
“Temannya Putri ya…?” Ayah
Putri menyambut hangat kedatangan
Iwan dan Geri, belum sepenuhnya
sadar bahwa dihadapannya adalah orang yang pernah ditolak lamarannya oleh
beliau.
Bapak Putri mengamat-amati wajah
Iwan dan berapa detik lamanya beliau baru menyadari bahwa sosok dihadapannya
adalah orang yang sangat dibencinya. Sontak roman mukanya berubah, merah padam.
“Anda…!!! Berani-beraninya Anda kesini lagi!Anda pikir dengan memotong rambut saya bisa tertipu !!!” Bentak Ayah Putri tanpa kompromi.
“Om…Maaf Om…bukannya saya ikut
campur, tapi saya yang menjamin kalau Iwan itu baik, dia bukan preman, jika Om tak percaya
,Om bisa tanya ke teman-teman nya di kampus, atau
bahkan mendatangi keluarganya di Jawa. Saya mohon Om mempertimbangkannya lagi. Dia mempunyai
niat yang baik untuk menikahi Putri Om.” Geri angkat bicara.
“OH!!!Anda bawa bala bantuan? Sudahlah! Sejak
awal saya sudah tidak percaya dengan Anda dan sampai detik ini tak ada
yang bisa merubah keputusan saya!”
Tegas Ayah Putri.
“Ayah…niatnya baik …kelihatannya dia juga pemuda yang baik, Putri pun
ingin menikah dengannya Yah…”
Pinta Ibu Putri lembut.
“Ibu ini!!! Sekali Ayah tak setuju tetap tak setuju!!!” Ucap
Bapak Putri setengah membentak.
Mendengar sebuah kegaduhan, Putri
yang sejak 3 hari mengurung diri di kamar dan tak mau makan berjalan keluar.
“Ada apa ini?” Ucap Putri lemah.
“Ga ada apa-apa Put…ayo kembali
ke kamar..” pelan Ibu Putri mendekati Putri yang terlihat tak punya daya lagi.
“Geri….ada perlu apa kau ke sini? Kau datang dengan siapa?” Rupanya Putri pun tak menyadari sosok di
hadapannya adalah Iwan.
Beberapa saat mata Putri terbelalak melihat penampilan Iwan. Meski masih
dengan suara lemah, Putri tertawa kecil dan bertanya “Kaukah Iwan ?”
Belum sempat menjawab , Ayah Putri tak biarkan anaknya bertemu dengan
pemuda yang dianggapnya preman itu. “Masuk Putri!!!Ayah bilang masuk!” Ayah Putri tak
mampu menahan lagi amarahnya. Dia seret paksa tangan Putri hingga masuk ke
kamar. Sedangkan di luar Iwan dan Geri hanya mampu jadi penonton. Ibu Putri
merengek pada suaminya agar jangan menyakiti Putri. Angin mencekam masuk ke
rumah berukuran cukup luas itu. Dan pada akhirnya, Iwan dan Geri pulang tanpa
membawa berita menggembirakan apapun.
***
Tak terasa 10 bulan
berlalu. Semenjak penolakan lamaran itu, Iwan tak ingin lama-lama di kosan.
Pasti ada saja kegiatan yang dia lakukan. Apalagi kini dia hanya mendiami kost itu
sendirian. Tanpa Geri. Geri
sudah menikah sekarang. Dan teringat dalam alam fikirnya, “Sudah waktunya aku
pulang ke kampung halaman, menemani ibuku yang tlah lama kutinggalkan”.
Kali ini bukan untuk sekedar liburan. Iwan memutuskan untuk tinggal di Jawa Tengah, Kampung halamannya. Sudah waktunya melakukan
sebuah perubahan. Memulai kehidupan baru tanpa kebisingan Ibukota. Meski
terkadang tuntutan zaman mengharuskannya bergelut dengan kota metropolitan, ada
saja yang harus ia kerjakan di ibukota. Tapi hati Iwan mulai tenang. Tanpa
bayang-bayang seorang Putri lagi. Luka hati mulai terobati dengan antibodi hati
sendiri.
“Fuh....lega rasanya tlah sampai lagi di kampung halaman.” Iwan tersenyum
lebar melihat pemandangan sawah terhampar di hadapannya. Begitu menyejukkan,
damai dan tenteram.
“Wan…” suara wanita setengah abad
yang tak lain adalah ibunya, menyadarkan Iwan dari lamunannya.
“Iya bu…” sahut Iwan pendek.
Iwan beranjak dari serambi
belakang rumahnya, menuju ke ruang tengah tempat ibunya berada. Sarapan pagi mendoan dan jangan kangkung plus sambel
terasi tlah tersaji di meja. Sungguh
nikmat! Sudah lama Iwan tak menyantapnya. Belum lagi tangan menggapai makanan
tersaji, Iwan tlah diberondong pertanyaan oleh Ibunya. Dan salah satunya …
“Kapan to kamu nikah, Wan,,, Ibu udah pingin punya cucu…”
Pertanyaan itu hampir tak lagi ia
pikirkan. Ada rasa trauma yang melekat erat dalam dada. Ternyata lukanya belum
sembuh juga. Takut akan penolakan untuk kedua kalinya.
Iwan hanya menggelengkan
kepalanya dan tersenyum kecut saja. Menyisakan tanda tanya besar bagi Ibunya
yang sangat berharap putra semata wayangnya itu menikah cepat. Kematian bapak
membuat ibunya kesepian. Lebih-lebih Iwan tlah merantau sampai 4 tahun lebih di
Jakarta.
***
Hari ini Iwan berencana untuk pergi ke Pesantren tempat dia menimba ilmu dulu. Kangen rasanya
dengan bakso Bu Suti, dengan Pak Kyai Khoerun yang sudah Iwan anggap sebagai
bapaknya sendiri.
“Assalamu’alaikum Wan!” Sesosok
pemuda muncul dari salah satu ruangan Pesantren dan segera memeluk Iwan.
“Wa’alaikumussalam wr wb,,,,
Lutfi apa kabar?kau tampak gemukan…” ucap Iwan.
“Ah, kamu Wan!Dari dulu paling
bisa membuat orang senang.” Lutfi tersipu.
Dulu Lutfi adalah santri terkurus
di pesantren itu, hampir-hampir hanya kulit pembalut tulang. Seringkali orang
memanggilnya si Cungkring, namun tidak dengan Iwan. Iwan selalu memuji Lutfi,
tak pernah menyinggung sekalipun perihal tubuh Lutfi yang kurus seperti layar
datar. Iwan selalu meyakinkan Lutfi yang seringkali rendah diri jika berkumpul
dengan teman-teman. Iwanlah yang selalu memotivasi Lutfi untuk mensyukuri semua
pemberian Allah SWT. Dulu Iwan selalu berkata “Aku yakin suatu hari nanti kau
bisa gemuk, Lutfi.” Dan kini Subhanallah, Lutfi tumbuh menjadi pria dewasa yang
tampan. Tak cungkring lagi! Bahkan badannya kini lebih berisi dan padat
dibanding Iwan. Segala Puji Bagi Allah.
Setelah berbincang-bincang Iwan
dan Lutfi menemui Kyai Khoerun yang baru saja mengajar.
“Bagaimana kabarmu, Wan?” suara
lembut terdengar dari bibir seorang guru besar. Meski terlihat segar, keriput
mulai nampak di wajah teduhnya yang mulai menua.
“Baik, Kyai. Kyai sendiri?” Iwan
nampak canggung menjawab pertanyaan Kyai. Sudah lama tak berbincang dengan
beliau mungkin.
“Alhamdulillah. Wan…boleh saya
bertanya sesuatu?” Tanya Kyai Khoerun serius.
“Iya Kyai...” Jawab Iwan pendek.
“Apakah kamu sudah menikah?” Kyai
Khoerun menatap Iwan tajam. Entahlah , Iwan pun tak menyangka perbicangan
langsung mengarah ke pernikahan.
“Belum Kyai.” Iwan menjawab
dengan nada rendah, ia terlihat malu setiap kali ada seseorang yang bertanya perihal
pernikahan.
Senyum terkembang dari bibir Kyai
Khoerun setelah mendengar kata-kata Iwan tadi. Iwan dan Lutfi terheran melihat pemandangan
yang tak seperti biasa itu, jarang sekali Kyai Khoerun terlihat bahagia sekali
seperti ini. Kalaupun tersenyum beliau jarang sekali sampai terlihat giginya.
Kali ini benar-benar peristiwa yang perlu diabadikan menurut Iwan.
Akhirnya Kyai menyampaikan alasan
mengapa beliau tersenyum saking
bahagianya.
“Alhamdulillah, saya ada tawaran
untukmu, Wan, inipun jika kau bersedia.” Ucap Kyai Khoerun sedikit berharap
kesediaan Iwan.
“Tawaran apa Kyai?” Tanya Iwan
penasaran.
“Maukah kau menikah dengan Putri
bungsuku?” Kyai menatap mata Iwan tajam.
Wah,,,,bagai mendapat durian
runtuh, jantung Iwan mendadak berdegup kencang. Ia sangat gembira,keberuntungan
tiba-tiba menghampirinya, meski belum pernah bertatap muka langsung dengan
putri bungsu beliau, Iwan sangat tersanjung mendapat tawaran langka itu dari
Bibir beliau sendiri. Dari cerita beliau tentang putri bungsunya yang 1 tahun
lebih muda dari Iwan dan tinggal bersama ibunya di Jawa Timur sampai SMA, dia
sangat cerdas dan mendapat beasiswa di Universitas ternama di Jakarta. Kini
gadis cerdas yang bernama lengkap Annisa Lutvia itu baru saja merampungkan
Skripsinya hanya tinggal menunggu wisuda saja.
“Jika Kyai percaya pada saya,
saya bersedia.” Jawab Iwan mantap, tanpa mempertimbangkan lagi, karena ibunya
pasti setuju. Bagai gayung bersambut malahan. Kemarin pagi ditanya jodoh esoknya Allah
memberikannya. Alhamdulillah.
***
Burung berkicau merdu, seakan
ikut berbahagia akan datangnya hari ini. Hari dimana Iwan akan melangsungkan
lamarannya pada Annisa Lutvia. Minggu yang berbeda untuk Iwan. Iwan bersama
ibunya bersiap untuk pergi melamar. Lamaran akan dilangsungkan sekitar pukul 2
siang ini, karena malam harinya Kyai Khoerun akan mengisi pengajian di Mesjid.
“Ibu udah siap?” Tanya Iwan pada
Ibunya.
“Sudah wan, ayo berangkat.” Jawab
ibunya semangat.
Iwan dan beberapa kerabat pergi
dengan mobil yang baru dibeli Iwan 2 bulan yang lalu. yah meski masih
nyicil…suuuttt… Mobil melaju dengan kencangnya dengan Lutvi sebagai sopirnya
(ga mungkin kan kalo pengantin ngendarain sendiri…!gengsi dikit lah….).
Hampir saja! Hampir saja mobil
menabrak seorang bapak yang mengendarai motornya dengan kencang.
Sepeninggal Iwan pergi seorang
bapak dengan wajah sangat cemas mendekati rumah Iwan. Mengetuk pintu sampai
berkali-kali. Tak ada jawaban.
“Cari siapa pak?” ibu Ruqoyah,
tetangga Iwan keluar dari rumahnya mendengar ketukan pintu bertubi-tubi.
Berisik juga.
“Benarkah ini rumah Iwan, bu?”
Tanya bapak itu masih dengan wajah cemasnya.
“Iwannya sedang pergi pak, melamar
putri Kyai Khoerun itu loh…” jawab bu Ruqoyah.
“Melamar? Kapan mereka pulang?
Bolehkah saya menunggu mereka sampai datang?”
Akhirnya bapak asing itu
dipersilakan masuk oleh bu Ruqoyah dan menunggu Iwan di rumahnya.
***
Hati Iwan terasa berdegup
kencang. Kencang dan makin kencang. Oh ternyata begini rasanya mau melamar,
keringat dingin mengucur dari seluruh tubuh. Untuk pertama kalinya Iwan akan
melihat wajah Annisa. Iwan sudah tak memikirkan cantik atau tidakkah seorang
Annisa. Yang jelas ia yakin akhlak gadis ini insyaallah mulia seperti ayahnya.
“Wan… silakan kamu melihat Annisa
di balik tabir itu.” Ucap Kyai Khoerun setelah Iwan menyatakan lamarannya pada
Annisa.
Perlahan Iwan membuka tabir dan
melihat Annisa di balik tabir itu. “Subhanallah” ucap Iwan dalam hati. Sungguh
cantik ya Allah… berbalut jilbab biru muda Annisa terlihat sangat mempesona.
Anggun bak bidadari turun memeluk hati Iwan yang selama ini kesepian.
“Panggil aku Nisa…” tutur Annisa
lembut.
“I….Iwan.” Iwan tergagap saking
terkagum-kagumnya dengan penampilan Annisa yang baru ia lihat dan sekaligus akan menjadi istrinya kelak.
Iwan kembali menutup tabir dan
kembali duduk disamping Kyai Khoerun. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru
dilihatnya. Manusiakah itu? Atau bidadari? Sungguh cantik!
Akhirnya tanggal dan hari pernikahan telah
ditetapkan. Semuanya sepakat dan berbahagia dengan hasil keputusannya. Iwan pun
mohon diri.
***
Keringat dingin tak lagi mengucur
dari tubuh Iwan. Hanya keringat capek saja terlihat mengalir dari keningnya. Baru
saja turun dari mobil suara bu Ruqoyah terdengar menyebut-nyebut nama Iwan.
“Wan, ada yang nyariin kamu…”
teriak bu Ruqoyah dari teras rumahnya. Seketika itu juga Bapak asing tadi
keluar menghampiri Iwan sambil menangis dan langsung bersujud di kaki Iwan
namun langsung diangkat oleh Iwan.
“Kenapa pak? Tak boleh bapak
bersujud pada saya. Hanya sama Allah ,Pak.” Iwan tampak mengenal bapak itu.
“Maafkan bapak, wan. Bapak sudah
salah mengira. Ternyata kamu memang baik. Bapak menyesal…” Ucap Bapak asing itu
yang ternyata adalah Ayah Putri yang dulu pernah menolak lamaran Iwan sambil
memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Pak! Bapak nggak boleh seperti
itu. Yang lalu sudahlah berlalu. Saya sudah ridho dengan keputusan Bapak dulu.”
Ucap Iwan menenangkan.
Iwan mengajak Ayah Putri masuk
kedalam rumah dan mengajaknya berbincang.
“Bapak sungguh menyesal dengan
perkataan Bapak dulu.” Ayah Putri mulai berbicara lagi setelah meminum teh
hangat dan menyantap pisang goreng buatan Ibu Iwan.
“Awalnya Bapak masih tak percaya
kalau Anda itu orang baik.” Dalam situasi apapun, marah ataupun tidak, ayah
Putri memang selalu menyebut orang yang ia ajak bicara dengan kata ‘Anda’.
“Kian hari kondisi Putri kian
memburuk. Selain ia tak pernah mau makan, ia juga mulai meninggalkan sholatnya,
menyebut nama Nak Iwan terus. Dan hampir lupa dengan kami ayah ibunya. Saya
mulai goyah dengan keyakinan saya. Saya ingin membuktikan apakah yang Putri
katakan itu benar. Bahwa Anda adalah orang baik. Sampai akhirnya saya mulai
mencari informasi tentang anda. Mulai dari teman-teman Putri sampai saya cari
alamat Anda hingga kesini. Saya tanya pada tetangga sekitar Anda. Ternyata
jawabannya pun sama. Anda orang baik. Lulusan pesantren bahkan. Disana saya
benar-benar tak mampu berkata…saya….saya benar-benar Ayah yang jahat…” air mata
tumpah begitu saja dari Balik Kelopak matanya. Terlihat bahwa ia sungguh
menyesali semua yang dikatakannya.
“Andai waktu bisa diputar…saya
akan langsung menikahkan kalian.” Sesal Ayah Putri.
Tiba-tiba Ayah Putri mengusap air
matanya dan menatap Iwan lama.
“Bersediakah Anda menikahi Putri
saya sekarang?” Pinta Ayah Putri.
“Maaf Pak, saya tidak bisa.” Iwan menjawab
dengan nada rendah dan sedikit menunduk.
“Tapi, nak Iwan… Bapak sungguh
mohon, nak Iwan mau. Putri sudah seperti orang gila yang menyebut-nyebut nama
nak Iwan setiap hari. Jika dia sadar nak Iwan tak ada, dia akan berteriak
ngamuk dan bahkan memecahkan semua perabotan yang ada di rumah.” Jelas Ayah
Putri dengan mata berkaca-kaca.
Tiba-tiba handphone Ayah Putri
berbunyi dan dengan gerakan cepat tangannya meraih handpone yang ada di
sakunya.
“Halo… ” handphone telah menempel
di telinga Ayah Putri.
Raut wajahnya mendadak takut
bercampur cemas setelah mendengar seseorang berbicara dari telepon genggamnya.
“Iya ma….Ayah segera ke sana.”
Cepat – cepat Ayah Putri menutup
teleponnya dan beranjak pergi begitu saja, terburu- buru sepertinya. Sampai di
pintu Ayah Putri kembali berbalik mendekati Iwan dan berbisik. “ Nak…Putri
mengamuk lagi, jika kau berubah pikiran, datanglah ke rumah.”
Oh…………!
Bagai petir yang tiba-tiba
menyambar Iwan malam ini. Setelah ia merasakan hangatnya sinar kebahagiaan tadi
siang , bertemu calon bidadari yang akan
dipersuntingnya. Kini masalah apalagi yang muncul menghadangnya. Tapi keputusan
tetaplah keputusan. Semuanya sudah terlambat pak! Iwan tercekat.
0 komentar:
Posting Komentar