Selasa, 31 Januari 2012

Rambut Gondrong Iwan


Mbok Yao kamu potong rambutmu to, Nang…..” Ucap Bu Suti , ibu kantin pesantren melirik pada Iwan.

Iwan hanya tersenyum sembari memegang rambut gondrong kesayangannya.  Tak terlalu gondrong seperti Ki Joko Bodho memang. Hanya ikal dan sepundak panjangnya. Tak terlalu acak2an juga sebenarnya, namun Bu Suti risih melihatnya.

“Ntar kamu dianggap preman loh…” Lanjut Bu Suti sambil menyuguhkan bakso pesanan Iwan.
“Ya ndak papa to Bu… yang penting kan hatinya….hehehe,”  ujar Iwan sambil  menuangkan sambal dan kecap ke dalam semangkuk baksonya.

“Bukan begitu nang…
nanti santriwati kabur lagi liat rambut gondrongmu itu…kamu mau gondrong terus sampai nikah nanti?“ Bu Suti terus membujuk Iwan memotong rambut gondrongnya.

Hari itu sudah berlalu sejak Iwan kuliah dan bekerja di Jakarta. Kata-kata Bu Suti selalu terngiang di telinganya , mengingatkannya seketika pada masa pesantren di Jawa. namun tetap saja rambut itu tak pernah mencium gunting salon sampai pendek. Pun Sekarang saat ia melamar seorang gadis dari keluarga berada. Ia tetap teguh mempertahankan rambutnya. Putri, nama gadis itu. Iwan mengenalnya dari seorang sahabat. Sudah cukup lama, namun Iwan tak pernah berani tuk mengganggu kesucian hatinya. Sampai dirinya merasa mampu tuk menjemput Putri menjadi istrinya. 

Putri, gadis pintar, cantik dan baik hati. Banyak pemuda di kampus yang menginginkannya menjadi pendamping, namun malang tak ada satupun yang diterima.  Awal pertemuannya, Iwan sering ingin tertawa kalau mengingatnya. Putri sangat kaget melihatnya seperti bertemu preman saja. 

Waktu itu  di halte Transjakarta.

“Hei Put….baru pulang?” Sapa Geri pada Putri yang baru turun dari Bus.
“Astaghfirullah….” Wajahnya berpaling pada Iwan setengah menunduk.
(wah sampai astaghfirullah segala!… kaya ngeliat setan saja. Haha)
“Kenapa Put?Hm…jangan bilang kalian tidak saling kenal! Kalian kan sekampus!” 

Geri mengarahkan pandangannya pada Iwan dan Putri bergantian.

Parah! Iwan dan Putri tak saling kenal meski telah 7 semester berada dalam satu kampus.
“Maklumlah Ger…kita berbeda jurusan dan sibuk masing-masing. ” ungkap Putri.
“O ya kenalkan, aku Putri…” Putri menyodorkan tangan pada Iwan.
“Iwan” sambil melipat tangannya ke dada.
“Oh Maaf.” Putri merasa tak enak.

Sudah jadi risiko orang berambut gondrong dianggap preman. Tak aneh memang. Tapi hati orang siapa tau…(cieeee….) gondrong gitu Iwan terhitung ikhwan juga loh…

Pertemuan kedua, di Serambi Masjid Kampus mereka bertemu. Itupun hanya selewat, namun kali ini jantung  Iwan berdebar kencang…”Apa ini?” katanya dalam hati. 

Iwan lalu bertanya pada Geri  tentang Putri. Bagaimana Putri sebenarnya…apakah ia gadis yang memenuhi criteria Iwan  selama ini? Dari Geri, Iwan tau banyak tentang Putri. Gadis Pintar , baik dan rajin sholatnya. Ya. Memenuhi criteria, hanya belum berjilbab dan kurang sedikit pemahaman saja. “Ah…biarlah nanti aku yang akan membimbingnya,” gumam Iwan dalam hati. Namun satu yang jadi tantangannya. Ia keluarga berada sedangkan Iwan hanya Lulusan Pesantren yang kini bekerja menjadi Admin biasa dan masih harus menyelesaikan S1 Teknik Informatikanya. “Haduh….hus hus…mikir apa aku ini…” Iwan segera tepis pikiran-pikirannya yang terlalu jauh tentang Putri.

Tentang Putri, diam-diam Putri pun menaruh simpati pada Iwan. Hanya ia sedikit diam. Yang tahu hanya Yesi sahabatnya yang tahun depan akan menikah dengan Geri.  Geri telah menceritakan semua tentang Iwan pada Yesi. Awal Putri ragu dengan rambut gondrong Iwan, namun setelah tahu sikapnya yang santun dan cerita Yesi padanya. Putri tersenyum lebar. Gayung bersambut. Geri mendorong Iwan untuk segera melamar Putri. 

“Tapi bukan sekarang Ger! Aku masih kuliah!” gertak Iwan pada Geri yang memintanya untuk segera melamar Putri.
“Ayolah kawan!  Tinggal satu semester lagi kan?”
Iwan meminta Geri tuk menyimpan semuanya. Biarlah semua menjadi rahasia. Putri pun masih menunggu Iwan, meski belum tahu perasaan Iwan sebenarnya. Biarlah mengalir. Iwan berkeyakinan ingin menjemputnya setelah wisuda nanti. “Kalaupun nanti Putri tlah memilih yang lain, ya sudahlah. Mungkin dia memang bukan jodohku.” Kata Iwan pasrah.

                                                                     ***
Wisuda akhirnya terlewati juga. Kali ini Iwan benar-benar mengumpulkan keberaniannya. Gelar sudah ditangan , niat tlah di tancapkan, tinggal aksi Wan!

Hari itu, seminggu setelah wisuda Iwan datang sendiri ke rumah Putri, tanpa sepengetahuan Putri. Masih dengan rambut gondrongnya ia beranikan diri melamar Putri pada ayahnya.

Bagai Petir menyambar, hati tersayat, dan wajah malu tak tertahan, Ayah Putri menolak lamaran Iwan!
“Maaf nak Iwan. Terus terang saya tidak setuju Putri saya menikah dengan Anda. ” Kata itu sopan tapi menyakitkan, sungguh sangat dalam! Keluar dengan jelas dari bibir ayah Putri yang tinggi kekar dengan suara yang menggelegar. Oh…malangnya nasibmu Wan…

“Tapi pak, bisakah Bapak menjelaskan alasan Bapak menolak lamaran saya?” Iwan bertanya dengan wajah tenang.
“Apa preman seperti Anda  merasa pantas bersanding dengan putriku?” tanya Ayah Putri menohok tenggorok Iwan.
Preman? Oh…lagi-lagi preman. Mengapa setiap orang yang melihat rambut gondrong Iwan berkata dia preman? ‘Memangnya yang rambutnya gondrong Cuma preman? Bapak nggak tahu ya, trend pesantren angkatanku adalah rambut gondrong!’ Iwan bergumam dalam hati.
“Biarkan saya menjelaskan latar belakang saya Pak. Saya akan buktikan kalau saya bukanlah preman.” Ucap Iwan meyakinkan.

“Sudah-sudah, tak perlu Anda banyak bicara untuk meyakinkan saya! Silahkan anda pergi dari sini.” Ucap Ayah Putri sambil menunjuk ke arah pintu .
Putri yang hanya mengintip dari balik pintu hanya mampu meneteskan air mata, tak mampu berkata dan masuk ke kamarnya. Sedangkan Iwan berlalu dengan menelan semua perkataan ayah Putri bagaikan menelan kopi pahit tanpa sedikitpun gula atau krim susu didalamnya.

                                                                            ***
 “Gimana wan?” Tanya Geri antusias , setelah melihat Iwan datang dengan wajah tertunduk lesu.
Iwan hanya menggelengkan kepala. “Ayahnya tak setuju, Ger!”
“Aku tak bisa apa-apa… restu orang tua adalah segalanya bagiku.” Jawab Iwan pasrah.
“Kau tak berjuang sedikitpun untuk meyakinkan Ayahnya,Wan?” Geri menatap Iwan tajam.
“Belum ku menjelaskan, beliau sudah memintaku keluar,Ger.” jelas Iwan.
“Aku akan menemanimu kesana, wan! Aku akan membantumu.” Geri ingin membantu Iwan memperjuangkan niat baiknya meminang Putri.
Iwan menatap Geri , timbul satu semangat lagi untuk berjuang mendapatkan restu orang tua Putri.
“Iya Ger…aku akan berjuang sekali lagi!” ucap Iwan mantap.
“Aku akan memotong rambut gondrongku ini Ger! Demi mendapat restu orang tuanya!”  
Iwan bersemangat sekali, menggebu lagi setelah melemah oleh tohokan Ayah Putri tadi. Ia rela memotong rambut gondrong kesayangannya. Selama bertahun-tahun ia merawat rambut gondrongnya dan sekarang demi mencapai setengah dien dengan gadis pujaannya ia harus rela berkorban memotong rambutnya.

                                                                     ***

“Putri…. Buka pintunya nak! Kamu belum makan sejak tadi” Ibu Putri membawa nampan berisi makanan untuk Putri yang mengurung diri sejak penolakan ayahnya terhadap Iwan.
Ibu Putri menarik napas dan meletakan nampan berisi makanan di meja makan. Lalu beranjak duduk di dekat Ayah Putri yang sedang menonton tv.
“Ayah ini… kenapa nggak nanya dulu sama Putri? Sepertinya dia menyukai pemuda itu.” Lembut Ibu Putri berujar pada suaminya.
“Ibu ndak liat penampilan pemuda itu? Gondrong bu….kaya preman!” Timpal ayah Putri.
Jelas alasan ayah Putri menolak Iwan tanpa basa basi. Suaranya terdengar sampai ke kamar Putri. Tak tahan mendengarnya Putri keluar menyatakan pembelaan.
 “Iwan bukan preman ayah! Dia baik! Percayalah pada Putri…yah…” Ucap Putri keras pada ayahnya sambil mengusap matanya yang bengkak akibat tangisannya selama 3 malam.
“Tau apa kamu Putri…kamu itu masih polos!Ayah tahu laki-laki macam apa Iwan itu…” Ucap ayahnya tegas.
“Ayah, jahat…!!! Iwan tak seperti yang ayah pikirkan!”
Putri berlari ke kamarnya. Menangis sejadi-jadinya. Mata yang kini bengkak, bertambah merah dan semakin membengkak saja. Reaksi ayahnya? Masih tetap pada pendirian semula.

                                                                   ***

Hari itu terik menyengat kulit, motor Geri melesat cepat menuju rumah Putri.  Iwan dan Geri memberanikan diri menemui orang tua Putri.
“Wan? Tanganmu gemetaran…” Geri memegang tangan kanan Iwan yang sejak tadi hanya diam selama di perjalanan.
“Iya, Ger…aku gugup. Gugup banget.” Jawab Iwan.
“Nih minum …duduklah dulu.”
Beberapa menit Iwan menenangkan diri. Mereka duduk di bawah pohon rindang tak jauh dari rumah Putri, Cukup berhasil membuat Iwan tak lagi gemetaran.
“Laa haulaa wala quwwata illa billah wan!” Geri menatap mata Iwan berusaha meyakinkan.
Iwan menatap Geri dan melihat sorot keyakinan pada temannya itu. Dan akhirnya setelah beberapa detik mengumpulkan semangat dan keberaniannya, Iwan mengangguk mantap.
“Eh.,…temannya Putri ya… ayo silakan masuk” Ibu Putri mempersilakan masuk Iwan dan Geri .
“Iya bu,…” jawab mereka serempak.
“Siapa bu?” suara menggelegar terdengar dari ruang tengah. Suara itu semakin dekat dengan langkah kaki yang cepat.
Temannya Putri ya…?” Ayah Putri menyambut hangat kedatangan Iwan dan Geri, belum sepenuhnya sadar bahwa dihadapannya adalah orang yang pernah ditolak lamarannya oleh beliau.
Bapak Putri mengamat-amati wajah Iwan dan berapa detik lamanya beliau baru menyadari bahwa sosok dihadapannya adalah orang yang sangat dibencinya. Sontak roman mukanya berubah, merah padam.
Anda…!!! Berani-beraninya Anda kesini lagi!Anda  pikir dengan memotong rambut saya bisa tertipu !!!” Bentak Ayah Putri tanpa kompromi.
“Om…Maaf Om…bukannya saya ikut campur, tapi saya yang menjamin kalau Iwan itu baik, dia bukan preman, jika Om tak percaya ,Om bisa tanya ke teman-teman nya di kampus, atau bahkan mendatangi keluarganya di Jawa. Saya mohon Om mempertimbangkannya lagi. Dia mempunyai niat yang baik untuk menikahi Putri Om.” Geri angkat bicara.
“OH!!!Anda bawa bala bantuan? Sudahlah! Sejak awal saya sudah tidak percaya dengan Anda dan sampai detik ini tak ada yang bisa merubah keputusan saya!” Tegas Ayah Putri.
Ayah…niatnya baik …kelihatannya dia juga pemuda yang baik, Putri pun ingin menikah dengannya Yah…” Pinta Ibu Putri lembut.
“Ibu ini!!! Sekali Ayah tak setuju tetap tak setuju!!!” Ucap Bapak Putri setengah membentak.
Mendengar sebuah kegaduhan, Putri yang sejak 3 hari mengurung diri di kamar dan tak mau makan berjalan keluar.
“Ada apa ini?” Ucap Putri lemah.
“Ga ada apa-apa Put…ayo kembali ke kamar..” pelan Ibu Putri mendekati Putri yang terlihat tak punya daya lagi.
“Geri….ada perlu apa kau ke sini? Kau datang dengan siapa? Rupanya Putri pun tak menyadari sosok di hadapannya adalah Iwan.
Beberapa saat mata Putri terbelalak melihat penampilan Iwan. Meski masih dengan suara lemah, Putri tertawa kecil dan bertanya “Kaukah Iwan ?”
Belum sempat menjawab , Ayah Putri tak biarkan anaknya bertemu dengan pemuda yang dianggapnya preman itu. “Masuk Putri!!!Ayah bilang masuk!” Ayah Putri tak mampu menahan lagi amarahnya. Dia seret paksa tangan Putri hingga masuk ke kamar. Sedangkan di luar Iwan dan Geri hanya mampu jadi penonton. Ibu Putri merengek pada suaminya agar jangan menyakiti Putri. Angin mencekam masuk ke rumah berukuran cukup luas itu. Dan pada akhirnya, Iwan dan Geri pulang tanpa membawa berita menggembirakan apapun.

                                                                        ***

Tak terasa 10 bulan berlalu. Semenjak penolakan lamaran itu, Iwan tak ingin lama-lama di kosan. Pasti ada saja kegiatan yang dia lakukan.  Apalagi kini dia hanya mendiami kost itu sendirian. Tanpa Geri. Geri sudah menikah sekarang. Dan teringat dalam alam fikirnya, “Sudah waktunya aku pulang ke kampung halaman, menemani ibuku yang tlah lama kutinggalkan”.
Kali ini bukan untuk sekedar liburan. Iwan memutuskan untuk  tinggal di Jawa Tengah, Kampung halamannya. Sudah waktunya melakukan sebuah perubahan. Memulai kehidupan baru tanpa kebisingan Ibukota. Meski terkadang tuntutan zaman mengharuskannya bergelut dengan kota metropolitan, ada saja yang harus ia kerjakan di ibukota. Tapi hati Iwan mulai tenang. Tanpa bayang-bayang seorang Putri lagi. Luka hati mulai terobati dengan antibodi hati sendiri.
“Fuh....lega rasanya tlah sampai lagi di kampung halaman.” Iwan tersenyum lebar melihat pemandangan sawah terhampar di hadapannya. Begitu menyejukkan, damai dan tenteram.
“Wan…” suara wanita setengah abad yang tak lain adalah ibunya, menyadarkan Iwan dari lamunannya.
“Iya bu…” sahut Iwan pendek.

Iwan beranjak dari serambi belakang rumahnya, menuju ke ruang tengah tempat ibunya berada. Sarapan pagi mendoan dan jangan kangkung plus sambel terasi  tlah tersaji di meja. Sungguh nikmat! Sudah lama Iwan tak menyantapnya. Belum lagi tangan menggapai makanan tersaji, Iwan tlah diberondong pertanyaan oleh Ibunya. Dan salah satunya …
“Kapan to kamu nikah, Wan,,, Ibu udah pingin punya cucu…”
Pertanyaan itu hampir tak lagi ia pikirkan. Ada rasa trauma yang melekat erat dalam dada. Ternyata lukanya belum sembuh juga. Takut akan penolakan untuk kedua kalinya.
Iwan hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecut saja. Menyisakan tanda tanya besar bagi Ibunya yang sangat berharap putra semata wayangnya itu menikah cepat. Kematian bapak membuat ibunya kesepian. Lebih-lebih Iwan tlah merantau sampai 4 tahun lebih di Jakarta.

                                                                      ***

Hari ini Iwan berencana untuk pergi ke Pesantren  tempat dia menimba ilmu dulu. Kangen rasanya dengan bakso Bu Suti, dengan Pak Kyai Khoerun yang sudah Iwan anggap sebagai bapaknya sendiri.
“Assalamu’alaikum Wan!” Sesosok pemuda muncul dari salah satu ruangan Pesantren dan segera memeluk Iwan.
“Wa’alaikumussalam wr wb,,,, Lutfi apa kabar?kau tampak gemukan…” ucap Iwan.
“Ah, kamu Wan!Dari dulu paling bisa membuat orang senang.” Lutfi tersipu.
Dulu Lutfi adalah santri terkurus di pesantren itu, hampir-hampir hanya kulit pembalut tulang. Seringkali orang memanggilnya si Cungkring, namun tidak dengan Iwan. Iwan selalu memuji Lutfi, tak pernah menyinggung sekalipun perihal tubuh Lutfi yang kurus seperti layar datar. Iwan selalu meyakinkan Lutfi yang seringkali rendah diri jika berkumpul dengan teman-teman. Iwanlah yang selalu memotivasi Lutfi untuk mensyukuri semua pemberian Allah SWT. Dulu Iwan selalu berkata “Aku yakin suatu hari nanti kau bisa gemuk, Lutfi.” Dan kini Subhanallah, Lutfi tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan. Tak cungkring lagi! Bahkan badannya kini lebih berisi dan padat dibanding Iwan. Segala Puji Bagi Allah.

Setelah berbincang-bincang Iwan dan Lutfi menemui Kyai Khoerun yang baru saja mengajar.
“Bagaimana kabarmu, Wan?” suara lembut terdengar dari bibir seorang guru besar. Meski terlihat segar, keriput mulai nampak di wajah teduhnya yang mulai menua.
“Baik, Kyai. Kyai sendiri?” Iwan nampak canggung menjawab pertanyaan Kyai. Sudah lama tak berbincang dengan beliau mungkin.
“Alhamdulillah. Wan…boleh saya bertanya sesuatu?” Tanya Kyai Khoerun serius.
“Iya Kyai...” Jawab Iwan pendek.
“Apakah kamu sudah menikah?” Kyai Khoerun menatap Iwan tajam. Entahlah , Iwan pun tak menyangka perbicangan langsung mengarah ke pernikahan.
“Belum Kyai.” Iwan menjawab dengan nada rendah, ia terlihat malu setiap kali ada seseorang yang bertanya perihal pernikahan.
Senyum terkembang dari bibir Kyai Khoerun setelah mendengar kata-kata Iwan tadi.  Iwan dan Lutfi terheran melihat pemandangan yang tak seperti biasa itu, jarang sekali Kyai Khoerun terlihat bahagia sekali seperti ini. Kalaupun tersenyum beliau jarang sekali sampai terlihat giginya. Kali ini benar-benar peristiwa yang perlu diabadikan menurut Iwan.
Akhirnya Kyai menyampaikan alasan mengapa beliau tersenyum saking bahagianya.
“Alhamdulillah, saya ada tawaran untukmu, Wan, inipun jika kau bersedia.” Ucap Kyai Khoerun sedikit berharap kesediaan Iwan.
“Tawaran apa Kyai?” Tanya Iwan penasaran.
“Maukah kau menikah dengan Putri bungsuku?” Kyai menatap mata Iwan tajam.
Wah,,,,bagai mendapat durian runtuh, jantung Iwan mendadak berdegup kencang. Ia sangat gembira,keberuntungan tiba-tiba menghampirinya, meski belum pernah bertatap muka langsung dengan putri bungsu beliau, Iwan sangat tersanjung mendapat tawaran langka itu dari Bibir beliau sendiri. Dari cerita beliau tentang putri bungsunya yang 1 tahun lebih muda dari Iwan dan tinggal bersama ibunya di Jawa Timur sampai SMA, dia sangat cerdas dan mendapat beasiswa di Universitas ternama di Jakarta. Kini gadis cerdas yang bernama lengkap Annisa Lutvia itu baru saja merampungkan Skripsinya hanya tinggal menunggu wisuda saja.
“Jika Kyai percaya pada saya, saya bersedia.” Jawab Iwan mantap, tanpa mempertimbangkan lagi, karena ibunya pasti setuju. Bagai gayung bersambut malahan.  Kemarin pagi ditanya jodoh esoknya Allah memberikannya. Alhamdulillah.

                                                                         ***

Burung berkicau merdu, seakan ikut berbahagia akan datangnya hari ini. Hari dimana Iwan akan melangsungkan lamarannya pada Annisa Lutvia. Minggu yang berbeda untuk Iwan. Iwan bersama ibunya bersiap untuk pergi melamar. Lamaran akan dilangsungkan sekitar pukul 2 siang ini, karena malam harinya Kyai Khoerun akan mengisi pengajian  di Mesjid.
“Ibu udah siap?” Tanya Iwan pada Ibunya.
“Sudah wan, ayo berangkat.” Jawab ibunya semangat.
Iwan dan beberapa kerabat pergi dengan mobil yang baru dibeli Iwan 2 bulan yang lalu. yah meski masih nyicil…suuuttt… Mobil melaju dengan kencangnya dengan Lutvi sebagai sopirnya (ga mungkin kan kalo pengantin ngendarain sendiri…!gengsi dikit lah….).
Hampir saja! Hampir saja mobil menabrak seorang bapak yang mengendarai motornya dengan kencang.
Sepeninggal Iwan pergi seorang bapak dengan wajah sangat cemas mendekati rumah Iwan. Mengetuk pintu sampai berkali-kali. Tak ada jawaban.
“Cari siapa pak?” ibu Ruqoyah, tetangga Iwan keluar dari rumahnya mendengar ketukan pintu bertubi-tubi. Berisik juga.
“Benarkah ini rumah Iwan, bu?” Tanya bapak itu masih dengan wajah cemasnya.
“Iwannya sedang pergi pak, melamar putri Kyai Khoerun itu loh…” jawab bu Ruqoyah.
“Melamar? Kapan mereka pulang? Bolehkah saya menunggu mereka sampai datang?”
Akhirnya bapak asing itu dipersilakan masuk oleh bu Ruqoyah dan menunggu Iwan di  rumahnya.
                                                         
                                                                ***

Hati Iwan terasa berdegup kencang. Kencang dan makin kencang. Oh ternyata begini rasanya mau melamar, keringat dingin mengucur dari seluruh tubuh. Untuk pertama kalinya Iwan akan melihat wajah Annisa. Iwan sudah tak memikirkan cantik atau tidakkah seorang Annisa. Yang jelas ia yakin akhlak gadis ini insyaallah mulia seperti ayahnya.
“Wan… silakan kamu melihat Annisa di balik tabir itu.” Ucap Kyai Khoerun setelah Iwan menyatakan lamarannya pada Annisa.
Perlahan Iwan membuka tabir dan melihat Annisa di balik tabir itu. “Subhanallah” ucap Iwan dalam hati. Sungguh cantik ya Allah… berbalut jilbab biru muda Annisa terlihat sangat mempesona. Anggun bak bidadari turun memeluk hati Iwan yang selama ini kesepian.
“Panggil aku Nisa…” tutur Annisa lembut.
“I….Iwan.” Iwan tergagap saking terkagum-kagumnya dengan penampilan Annisa yang baru ia lihat dan  sekaligus akan menjadi istrinya kelak.
Iwan kembali menutup tabir dan kembali duduk disamping Kyai Khoerun. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Manusiakah itu? Atau bidadari? Sungguh cantik!
 Akhirnya tanggal dan hari pernikahan telah ditetapkan. Semuanya sepakat dan berbahagia dengan hasil keputusannya. Iwan pun mohon diri. 

                                                               ***

Keringat dingin tak lagi mengucur dari tubuh Iwan. Hanya keringat capek saja terlihat mengalir dari keningnya. Baru saja turun dari mobil suara bu Ruqoyah terdengar menyebut-nyebut nama Iwan.
“Wan, ada yang nyariin kamu…” teriak bu Ruqoyah dari teras rumahnya. Seketika itu juga Bapak asing tadi keluar menghampiri Iwan sambil menangis dan langsung bersujud di kaki Iwan namun langsung diangkat oleh Iwan.
“Kenapa pak? Tak boleh bapak bersujud pada saya. Hanya sama Allah ,Pak.” Iwan tampak mengenal bapak itu.
“Maafkan bapak, wan. Bapak sudah salah mengira. Ternyata kamu memang baik. Bapak menyesal…” Ucap Bapak asing itu yang ternyata adalah Ayah Putri yang dulu pernah menolak lamaran Iwan sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Pak! Bapak nggak boleh seperti itu. Yang lalu sudahlah berlalu. Saya sudah ridho dengan keputusan Bapak dulu.” Ucap Iwan menenangkan.
Iwan mengajak Ayah Putri masuk kedalam rumah dan mengajaknya berbincang.
“Bapak sungguh menyesal dengan perkataan Bapak dulu.” Ayah Putri mulai berbicara lagi setelah meminum teh hangat dan menyantap pisang goreng buatan Ibu Iwan.
“Awalnya Bapak masih tak percaya kalau Anda itu orang baik.” Dalam situasi apapun, marah ataupun tidak, ayah Putri memang selalu menyebut orang yang ia ajak bicara dengan kata ‘Anda’.
“Kian hari kondisi Putri kian memburuk. Selain ia tak pernah mau makan, ia juga mulai meninggalkan sholatnya, menyebut nama Nak Iwan terus. Dan hampir lupa dengan kami ayah ibunya. Saya mulai goyah dengan keyakinan saya. Saya ingin membuktikan apakah yang Putri katakan itu benar. Bahwa Anda adalah orang baik. Sampai akhirnya saya mulai mencari informasi tentang anda. Mulai dari teman-teman Putri sampai saya cari alamat Anda hingga kesini. Saya tanya pada tetangga sekitar Anda. Ternyata jawabannya pun sama. Anda orang baik. Lulusan pesantren bahkan. Disana saya benar-benar tak mampu berkata…saya….saya benar-benar Ayah yang jahat…” air mata tumpah begitu saja dari Balik Kelopak matanya. Terlihat bahwa ia sungguh menyesali semua yang dikatakannya.
“Andai waktu bisa diputar…saya akan langsung menikahkan kalian.” Sesal Ayah Putri.
Tiba-tiba Ayah Putri mengusap air matanya dan menatap Iwan lama.
“Bersediakah Anda menikahi Putri saya sekarang?” Pinta Ayah Putri.
 “Maaf Pak, saya tidak bisa.” Iwan menjawab dengan nada rendah dan sedikit menunduk.
“Tapi, nak Iwan… Bapak sungguh mohon, nak Iwan mau. Putri sudah seperti orang gila yang menyebut-nyebut nama nak Iwan setiap hari. Jika dia sadar nak Iwan tak ada, dia akan berteriak ngamuk dan bahkan memecahkan semua perabotan yang ada di rumah.” Jelas Ayah Putri dengan mata berkaca-kaca.
Tiba-tiba handphone Ayah Putri berbunyi dan dengan gerakan cepat tangannya meraih handpone yang ada di sakunya.
“Halo… ” handphone telah menempel di telinga Ayah Putri.
Raut wajahnya mendadak takut bercampur cemas setelah mendengar seseorang berbicara dari telepon genggamnya. “Iya ma….Ayah segera ke sana.”
Cepat – cepat Ayah Putri menutup teleponnya dan beranjak pergi begitu saja, terburu- buru sepertinya. Sampai di pintu Ayah Putri kembali berbalik mendekati Iwan dan berbisik. “ Nak…Putri mengamuk lagi, jika kau berubah pikiran, datanglah ke rumah.” 

Oh…………!

Bagai petir yang tiba-tiba menyambar Iwan malam ini. Setelah ia merasakan hangatnya sinar kebahagiaan tadi siang , bertemu  calon bidadari yang akan dipersuntingnya. Kini masalah apalagi yang muncul menghadangnya. Tapi keputusan tetaplah keputusan. Semuanya sudah terlambat pak! Iwan tercekat.







0 komentar:

Posting Komentar

 
;