Bulir ini begitu hangat, menetes
tak henti bagai deras hujan yang turun malam ini. Mengantarkanku pada memori
masa lalu 2 tahun silam, saat kau masih berada di hadapanku, meski hanya
sebagai teman.
***
Dingin. Mata itu begitu dingin. Tajam
menatap siapapun lawan bicaranya. Menunjukkan betapa berprinsipnya dia.
Menampilkan karakternya yang keras. Dengan memasukkan tangan ke dalam saku
jaket hitamnya ia berjalan pelan. Menyusuri lorong kampus yang panjang.
Sendiri. Tanpa teman. Tak perduli dengan kicauan orang sekitar, itulah dia. Dia
dengan dunianya sendiri. Meski begitu ia sangat peduli terhadap pendidikan,
terhadap agamanya, terhadap sahabat-sahabatnya. Tentunya dengan caranya
sendiri.
***
“Ta, gantiin Gery magang ya…”
suara Kak Pato mengagetkanku yang sedang asyik googling di lab internet.
“Ga mau! Tita kan udah magang
dari tadi pagi kak, kenapa harus Tita yang gantiin Gery?” dengan ketus ku
lancarkan pembelaanku tanpa menengok sedikitpun ke wajah kak Pato.
“Karena cuma kamu aja yang ada.
Gery kuliah, Reni ngga tau kemana. Pokoknya harus ada yang magang! Kalo enggak
kakak bilangin ke Bu Dea(supervisor).” Kali ini wajah kak Pato serius, aku tahu
ia tidak main-main dengan perkataannya, tapi tetap saja aku merasa tak ada
keadilan disini. Masa aku harus selalu stand by di front office kampus.
Sedangkan jadwal magangku hanya 3 jam saja per hari. Ketika ku ganti pun aku
yakin takkan ada bayaran pengganti. Huh!
“Nggak! Kenapa nggak kak Pato
aja! Kenapa harus aku!?” aku berdiri dan mengalungkan tas ke bahu kananku.
“Ya, terserah kalo mau kena marah
Bu Dea!” ucap kak Pato acuh sambil melirikkan matanya ke atas.
“Aku nggak perduli!” tatapku
tajam pada kak Pato sambil bergegas pergi meninggalkan lab internet dengan
wajah penuh kesal.
Aku berjalan cepat ke arah saung
tempatku menyepi. Saung yang letaknya tak jauh dari kampusku. meski di dekat
rolling door kanan kampus dan tepat di pinggir jalan. Saung ini tempat favorit
anak-anak untuk menyendiri, setidaknya memisahkan diri dari keramaian. Karena
takut ketahuan aku sedang marah dan hampir setetes demi setetes air jatuh dari
mataku, aku keluarkan sebuah buku, hanya untuk alibi kalau-kalau ada yang
bertanya aku sedang apa, aku jawab saja sedang belajar. Mudah kan?
“Huh, kenapa sih kak Pato nggak
pernah ngerti perasaanku? Kenapa ia selalu saja menindasku? Padahal ada orang
lain yang bisa menggantikannya magang, kenapa harus aku? huh!” bisikku
bersungut-sungut.
Mataku menatap tajam ke depan.
Entah kemana aku memandang, tak jelas. Aku hanya masih terpikir kata-kata kak
Pato yang menyebalkan. Angin sejuk tak
membuatku lupa akan hal itu, yang ada aku hanya bisa menangis lirih.
“Kasihan bukunya kalo nggak di
baca!” suara berat itu baru terdengar lagi. Suara Danu. Teman seangkatanku,
meski jarang sekali aku bisa mengobrol dengannya. Tapi dia selalu muncul saat
aku membutuhkannya. Meski begitu ia terkenal dingin, keras dan anti terhadap
wanita. Itulah dia. Namun banyak sisi baik yang kutemukan dari dia, meski ku
tak terlalu mengenalnya dekat.
Aku hanya menoleh sebentar,
kulihat ia berdiri di rolling door dengan memasukkan tangan kanannya ke saku
jaket hitamnya. Aku tolehkan lagi wajahku ke posisi semula.
“Dibaca ko!” jawabku pendek.
Ia perlahan mendekat, duduk 1
meter di sampingku dengan posisi membelakangiku. Dan mendesah pelan.
“Hhh,,,,Jangan mudah marah, tahan
emosimu…” ucapnya tenang.
“Jika kau terus menuruti emosimu
dan meledakkan emosimu, tak baik untuk dirimu sendiri. Tak akan membawa manfaat
untukmu juga, ta. Yah, meski akupun belum mampu mungkin untuk itu, tapi
setidaknya aku tak ingin orang lain sama sepertiku.” Lanjutnya.
Ia lalu berdiri dan pergi begitu
saja. Tanpa berkata-kata lagi.
“Kenapa dia tahu? Huh! Iya ya…
aku harus bisa tahan emosiku.”
Hatiku sedikit lebih tenang. Tak
ada lagi kebencian terhadap kak Pato. Yang ada sekarang hanya rasa kasihan
terhadapnya, mungkin dia memang harus tanggung jawab terhadap anak magang di
bawah naungannya. ‘hm..kasihan juga…’
Danu. Kenapa dia datang? Dia
sangat misterius bagiku. Meski aku menyukainya, aku tak bisa untuk
mengungkapkannya. Dia dengan hidupnya, dengan prinsipnya. Aku tak bisa ikut
campur dan sedikitpun tahu tentangnya. Aku takut. Dia terlalu dingin dan keras
untuk ku kenal lebih dekat.
***
Malam sudah mulai larut, aku dan
Ina masih berada di rumah sakit untuk menjenguk Rita. Tiba-tiba datang 2 orang
yang juga kukenal.
“Hei, Danu! Agung! Kalian
kesini…” sapa Rita.
“Kau kesini juga, ta?” ucap Agung.
“Iya lah,,,,emang kenapa? Ga
boleh?” ledekku sambil menjulurkan lidah.
“Huh, dasar kau!” ucap Agung.
Danu hanya diam, acuh.
Seseorang datang, tak kukenal.
“Oh, Roni…kau datang
menjemputku?” tanya Ina. Ternyata sosok tak ku kenal itu kenal baik dengan Ina.
Bahkan menjemputnya untuk pulang.
“Orang tuamu khawatir, jadi aku
menjemputmu.” Ucap orang yang berperawakan tinggi besar itu.
Akhirnya Ina pergi meninggalkanku
sendiri, hanya dengan Agung dan Danu. Ibu Rita yang sedari tadi menebus obat
akhirnya kembali.
“Oh, akhirnya ibu kembali. Ibu,
maaf ya kayaknya Tita harus undur diri sekarang, sudah malam.” Pamitku.
“Mengapa tak menginap saja, ta?” pinta
ibu Rita.
“Iya, ta…menginap saja…sudah
malam.” Sahut Rita.
Aku hanya menggelengkan kepala
sembari memohon diri. Kulihat Agung dan Danu ikut mohon diri.
Aku berjalan sendiri di tengah
temaram lampu rumah sakit. Menyusuri lorong-lorong panjang yang entah dimana
ujungnya belum terlihat juga. Di belakangku Agung dan Danu berjalan seolah-olah
seperti body guardku. Tapi aku tenang, ada mereka. Setidaknya sampai pintu
rumah sakit ada yang menemaniku di belakang.
“Ta…” Agung memanggilku.
“Ayo, ikut!” pintanya.
“Mana Danu?”
“Dia pergi duluan.”
Aku tertunduk lesu menerima
tawaran Agung, aku ingin berkata ‘mengapa kau yang datang, gung! Kenapa bukan
Danu?’ tapi kutelan mentah-mentah. Jangan berharap ta! Kau dan Danu? Seperti
langit dan bumi yang tak mungkin bisa untuk bersama. Entahlah. Aku terlalu lesu
untuk memikirkannya. Aku tak mampu untuk mengerti seorang Danu. Apa yang ada di
pikirannya dan sikapnya. Akupun tak mampu untuk menerka. Sudah bisa mengobrol
dan menjadi teman, itu sudah suatu prestasi yang luar biasa dimataku. Aku tak
ingin kehilangan itu.
Motor melaju kencang, menembus
jalanan kota di malam yang terang dengan lampu jalanan yang tak pernah padam.
Sedang pikiranku masih bertanya-tanya, bisakah? Bisakah aku berkata padanya
bahwa aku cinta?
***
Aku terbangun mendengar suara
ribut diluar, setengah sadar aku buka pintu kamarku.
“surprise…!!!”
“Met ultah ya…” semua
sahabat-sahabatku ada disana, diluar kosanku.
“Kaliaaannn..….” ucapku terharu
melihat teman-temanku datang, bukan hanya Ina dan Yeni, tapi Agung dan Danu pun
datang.
“Eh, ta, bukannya ada lantai
paling atas di kosanmu yah…kita ke atas yuk,,,kita bisa lihat kembang
api...ultahmu kan bareng sama tahun baru…jadi kita ga usah repot2 ngerayainnya,,,,sekalian
ajah…hahahah” dengan menunjukkan jarinya
keatas Ina mengutarakan idenya. Yang lain menyetujui.
“5, 4, 3, 2, 1……”
“doaaarr,,,,,,,,ciiiiiiu…” suara
kembang api meletup dari sana sini.
Aku tersenyum melihat polah
mereka. Ina dan Yeni Jingkrakan melihat kembang api, Agung meniup terompet,
Danu? Aku sungguh terkejut dibuatnya. Kali ini aku baru pertama kali melihatnya
tersenyum simpul seperti itu sambil meniup terompet bersama Agung. ‘Kau manis
juga kalau tersenyum , Dan!’ batinku. Tiba-tiba Danu menoleh menatapku,
tersenyum padaku. Ups! Dia sadar sedang kuperhatikan. Tapi ia kembali meniup
terompetnya.
“Oke…sekarang waktunya potong
kue…” Ina meletakkan kue tar di atas tikar. Karena di lantai 2 tak ada meja
ataupun kursi akhirnya kita menggelar tikar. Yah, seperti bertamasya saja.
“Silakan ta, berdoa apa yang kamu
inginkan di hari ulang tahunmu ini…” kata Ina.
Aku pejamkan mata, ku tengadahkan
tangan seraya berdoa, berdoa apa yang sedang aku inginkan, berdoa semuanya akan
baik-baik saja, seperti ini. Berdoa agar di kehidupan setelah mati kelak, Engkau
pertemukan kembali aku dengan orang – orang yang aku sayang dan menyayangi aku.
aamiin.
Aku buka mata. Danu yang pertama
kali aku lihat. Entah kenapa wajahnya begitu pucat kulihat.
“Terima kasih teman-teman, atas
kejutan malam ini. Aku bahagia sekali. Aku ingin masing-masing dari kalian
mengucapkan sesuatu padaku. Apapun itu. boleh kritik saran, kesan pesan atau
apa lah…” ucapku di tengah keramaian malam tahun baru.
Semuanya setuju, Ina memulai
sebelum yang lainnya.
“Ta, sejak SMP kita berteman.
Sampai sekarang ketika kau dan aku sama-sama kuliah di satu kampus yang sama
pula, aku tak pernah melihatmu menangis. Kau selalu memaafkan aku ketika ku
berbuat salah padamu. Kau selalu membantuku ketika aku membutuhkan uluranmu.
You are the best,ta! Ku berdoa semoga apa yang kau doakan terkabul…” Ina
menyudahi perkataannya dengan mengusap butiran kecil di wajahnya.
“Ta, meski aku baru kenal kamu di
kampus beberapa tahun terakhir, sudah banyak kenanganmu bersamaku. Kau selalu
membawaku mengenal hal baru. Kau selalu mendorongku untuk tegas dalam mengambil
keputusan. Kau yang mengajarkanku arti dari sebuah persahabatan…bahagia selalu
untukmu,ta…” ucap Yeni.
“Hm…apa ya… Tita… seorang
cerewet, bawel seperti nenekku. Tapi dia selalu sabar mengajariku. Ketika aku
kesulitan dalam belajar, kau selalu muncul menjadi pahlawanku….”
Semua terbahak mendengar gurauan
Agung, kecuali aku. yah, menahan tawa sedikit meski ingin marah juga. Sekarang
tiba saatnya Danu memberikan ucapannya padaku. Tapi apa ini? Dia pergi.
Menghilang entah kemana.
“Mengapa Danu pergi pas
gilirannya?” aku bertanya pada teman-teman.
Ketiganya saling menatap. Ina,
Yeni dan Agung saling menatap bingung. Mereka seperti bingung dengan perkataanku.
“Kenapa? Ada yang salah dengan
pertanyaanku? Danu kemana sih? Agung! Ayo cari Danu!” aku terus nyerocos.
“Ta, kamu nggak mimpi kan?” tanya
Ina.
“mimpi apa? Tadi Danu disini
bersama kita, kenapa tiba-tiba dia pergi? Huh! Orang Aneh!”
“Ta! Sadar ta! Danu udah
meninggal!” Ina mengguncangkan tubuhku keras.
“Siapa yang meninggal? Danu?
Nggak ah! Tadi dia disini na!”
Hening. Semuanya terdiam. Aku pun
terdiam. Seketika aku tersadar,aku lunglai terduduk. Menangis sejadi-jadinya.
Ina memelukku erat. Menguatkanku.
“Kenapa secepat ini, na! kenapa?”
lirihku sembari menahan sesak tangisku di dada.
Keceriaan sontak berubah menjadi
kepedihan. Semua kembali teringat dengan Danu. Sebulan yang lalu ia mengalami
kecelakaan. Malam itu, setelah ia menyuruh Agung mengantarku pulang, ia
menunggu angkot lewat. Menurut saksi kejadian dia menolong seorang kakek
menyebrang jalan, namun tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dan menabrak Danu
dengan cepat. Kakek itu selamat, Danu melindungi dengan tubuhnya sehingga sang
kakek hanya mengalami luka ringan. Itu yang terakhir Agung katakan
kepadaku. Aku tak percaya! Dan mengapa
aku menjadi sesakit ini! Sesedih ini! Oh!
“Ta….” Agung memanggilku pelan.
“Ini semua koleksi Danu. Meski
dia tak berharap kau tahu secepat ini, dan memiliki ini. Tapi kupikir apalagi
yang harus di tutup-tutupi.” Agung berucap parau sambil meletakkan sebuah buku
di atas pangkuanku.
Pelan kubuka, lembar demi lembar.
Oh! Itu semua fotoku! Dia mencuri fotoku! Ada beberapa yang bertuliskan
sesuatu.
“Aku tahu kau
sedang marah, wajahmu sangat lucu. Aku tak mau kau jadi sepertiku ta, jadi
pemarah. Tenanglah… jika kau marah semua takkan menjadi baik. Itu tak baik
untukmu.”
“Ta…
maafkan jika aku menyakitimu. Acuh padamu. Semata karena ku ingin menjagamu
dengan caraku. Ingin mencintaimu dalam diamku. ”
Tangisku bertambah. Mengapa ia
selalu diam? Setidaknya mengapa tak beritahu aku? dia siksa aku dengan perasaan
ini!
Tapi terima kasih telah menjagaku
selama ini.
***
Tahun baru menyisakan tangis
buatku. 2 tahun terakhir, tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu
menjadi kenangan manis buatku, ia selalu datang meski hanya tersenyum dalam
mimpi, wajah dingin itu, tajam mata itu, tahukah kamu aku rindu. Kini aku hanya
mampu menyimpannya dalam diary kenanganku. Akan kukenang dan kutata rapi di
hatiku.
Jakarta,
Kamis, 29 Desember 2011
11.47 WIB